Friday, May 28, 2010

Perencanaan Wilayah - Cara Praktis Komprehensif

Perencanaan Wilayah dan Kota menghendaki pola berfikir komprehensif. Ini tidak mudah, dan selalu jadi persoalan bagi mereka yang baru berkenalan dengan dunia perencanaan wilayah dan kota memerlukan cara praktis belajar berfikir komprehensif, mengingat di dunia ini ilmu sudah dibagi-bagi. Ada ilmu kebumian, fisik, yang telah dibagi dalam geografi, geologi, geodesi. Ada ilmu ekonomi, yang dibagi lagi dalam studi pembangunan, makro-ekonomi, mikro-ekonomi dan lainnya. Ada ilmu sosial yang dibagi dalam kependudukan, anthropologi, politik dan seterusnya. Bagaimana perencana wilayah dan kota harus merangkainya?

Kadang perencana wilayah dan kota menganggap penguasaan ilmunya komprehensif, tapi apakah demikian? Karena pada sisi lain perencana masih sangat membatasi diri pada aspek fisik semata. Bagaimana bisa disebut komprehensif? Ini sering karena kesulitan dalam memahami ke-komprehensif-an wilayah dan kota, yang memang tidak mudah. Tidak mudah bagi mahasiswa baru, tidak mudah pula bagi mereka yang terbiasa dengan pola pikir ilmu tertentu, misalnya: engineering, arsitektur, ekonomi, sosial, hukum, dst. Bahkan yang belajar di tingkat S-3 atau doktoral dalam memperdalam teori dan analisisnya sering masuk kembali ke liang-liang akar ilmu tertentu yang sangat spesifik, seraya masuk ke filsafat ilmu di atas langit dan meninggalkan realita dunia nyata yang komprehensif.

Menguasai pola pikir perencanaan wilayah dan kota yang komprehensif sebetulnya bisa dengan cara praktis. Kuncinya latihan praktik berfikir. Salah satu cara praktis ini ialah: Latih tiap hari membaca, mengamati suatu gejala atau kebijakan di wilayah dan kota dari satu sisi, misalnya pembangunan fisik pembangunan perumahan mewah di pantai. Pikirkan aspek FISIK-nya, apa pengaruh pembangunan perumahan di pantai itu terhadap: pola penggunaan lahan sekitarnya, pola lalu-lintas sekitarnya. Apa nilai positif dan negatifnya, bagi lingkungan, kota dan wilayah.
Lalu pikirkan aspek SOSIAL-nya, apa pengaruhnya terhadap penduduk sekitar, adakah yang tergusur, adakah proses ganti-rugi yang wajar? bagaimana nasib mereka selanjutnya? Mereka pindah kemana, ke pinggiran, perdesaan, jadi gelandangan? Bagaimana pengaruhnya di tingkat kota dan wilayah?
Selanjutnya pikirkan aspek EKONOMI nya. Bagaimana pengaruh positif dan negatifnya, bagi penghuni baru, bagi masyarakat sekitar, bagi kota dan wilayah? tambah menarik investor, meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah? Apa dampak negatifnya bagi perekonomian warga sekitar (jalan harus berputar, pasar tradisional digusur, dst)? Apa pengaruhnya bagi kota dan wilayah?

Cara praktis berfikir komprehensif dalam perencanaan wilayah dan kota yang melatih cara pandang "FISIK-LINGKUNGAN, SOSIAL, EKONOMI" (PLACE - FOLK - WORK)ini perlu dilatih dalam menganalisis, memperhatikan setiap PERUBAHAN dalam perkembangan wilayah dan kota [Risfan Munir]

Tuesday, May 25, 2010

Perencanaan Wilayah dan Kota - Gesang dan Bengawan Solo

Perencanaan Wilayah dan Kota terkait pengelolaan sumber daya air atau pengelolaan daerah aliran sungai. Mengenang Bapak Keroncong Gesang, warisan beliau yang legendaries ialah lagu “Bengawan Solo”. Lagu ini sangat kuat gemanya, digemari di Jepang dan banyak Negara lainnya. Pesannya jelas, “Mata air mu dari Solo, terkurung gunung seribu. Air mengalir sampai jauh, akhir ke laut.”

Visi perencanaan wilayah dan kota tentu harus bisa melihatnya sebagai pesan untuk selalu memperhatikan pengelolaan wilayah sungai, sumber daya air. Dari kawasan hulu, gunung-gunung, dataran tinggi, lereng-lereng yang subur tapi rawan longsor erosi. Hingga kota-kota, desa-desa, yang membutuhkan air bersih, irigasi untuk lahan persawahan. Dan seterusnya ke laut sebagai muara. Seluruh sistem harus dipelihara, dikelola secara berkelanjutan (sustainable development).

Saat ini mengawali musim ujan banyak sekali kota-kota, desa-desa, lahan pertanian di DAS Cisadane, Ciliwung, Citarum, Bengawan Solo, Brantas yang mengalami ancaman banjir. Bersamaan dengan berita meninggalnya Gesang juga ada khabar banjir di Bojonegoro, Trenggalek, Tulungagung, Bandung. Ini sudah sering dibahas terjadi karena kurangnya antisipasi, kurangnya pemeliharaan kawasan hulu. Masih segar dalam ingatan juga kasus jebolnya Bendung Situgintung Tangerang. Semua terkait dengan perencanaan wilayah dan kota juga.

Perencanaan wilayah dan kota perlu lebih banyak bekerjasama dan perhatian pada aspek pengelolaan sumber daya air karena air, disamping lahan adalah sumber daya yang menentukan kehidupan yang selama ini kian langka. Bukan karena kekurangan, tetapi karena meluap di musim hujan, kekeringan di musim kemarai. Artinya ini soal pengelolaan. [Risfan Munir]

Monday, May 24, 2010

Perencanaan Wilayah Raja Ampat

Perencanaan wilayah dan kota bagi pembangunan daerah Raja Ampat bisa berarti pengembangan wilayah, pengembangan pariwisata, pengembangan kawasan pesisir dan pulau kecil, penataan ruang dan pemberdayaan masyarakat.

Kabupaten Raja Ampat yang baru berdiri sebagai hasil pemekaran dari Kabupaten Sorong pada 2002 itu telah menarik banyak perhatian secara nasional maupun internasional. Salah satunya adalah daya tarik wisata alamnya, tertama wisata bahari. Padahal pemerintah kabupaten Raja Ampat baru serius mengembangkannya tahun 2007.
Potensi wisata bahari, terutama keindahan bawah lautnya sudah sangat tersohor.

Perencanaan wilayah dan Kota. Potensi lain adalah kekayaan tambang nikel dan krom yang tinggi pula. Namun kekayaan pertambangan yang sudah mulai dieksploitasi ini ternyata membawa persoalan dan dilema tersendiri. Proyek penambangan, terutama tambang terbuka, pada umumnya menimbulkan persoalan lingkungan. Di Kabupaten Raja Ampat, di beberapa tempat terjadi dampak seperti pantai yang dipenuhi lumpur yang hanyut, endapan lumpur yang mematikan karang dan biota (Kompas, 22-5-2010).

Perencanaan wilayah dan kota. Untungnya Bupati Raja Ampat Marcus Wanma cepat tanggap dengan menetapkan sektor pariwisata bahari dan perikanan sebagai prioritas pembangunan daerah, dan berkomitmen untuk tidak mengeluarkan izin penambangan baru, hingga penyusunan rencana tata ruang wilayah Raja Ampat dan Provinsi Papua Barat selesai dilakukan.

Ini adalah contoh perencanaan wilayah dan kota dan pembangunan daerah berbasis potensi wisata alam. Paduan perencanaan wilayah dan kota dengan perencanaan pariwisata serta pemberdayaan masyarakat desa pesisir dan pulau kecil yang layak difasilitasi dan dikaji terus untuk menemukan key success factors nya.

Saturday, May 22, 2010

Perencanaan Wilayah dan Kota: Pengembangan Pariwisata

Perencanaan wilayah dan kota dikaitkan dengan pengembangan ekonomi lokal, bagi perencananya kadang dirasakan ada “ganjalan”, misalnya soal perdagangan yang dikonotasikan sebagai komersialisasi karya seni. Di kalangan perencana pariwisata, budayawan ini juga merisaukan. Dilematis.

Bagi perencana wilayah dan kota, idealnya karya komunitas dibiarkan saja keaslian karya Asli dari suku Asli tetap asli. Sehingga ritme hidup dia juga tetap asli. Ini harapan wajar. Namun, kalau Anda tahu bahwa karya Asli itu di pasar ternyata harganya mahal dan Anda membiarkan suku Asli itu tidak tahu , apalagi mereka secara ekonomi (IPM) terbatas, butuh tambahan income. Maka membiarkan mereka tidak masuk sistem ekonomi, bisa dibilang tidak fair juga. Dan, praktiknya kebijakan pemerintah (diluar kontrol kita) membuka peluang itu.

Tapi mengajari mereka terjun bebas ke sistem ekonomi memang beresiko: (1) memudarkan keaslian berganti motif komersial; (2) akan memicu eksploitasi, disamping tumbuhnya individualism yang tidak sehat. Untuk inilah maka pendekatan pengembangan ekonomi local melalui “penguatan Cluster”/sentra /kelompok diperlukan agar bargaining position mereka (mikro-kecil) naik, dan ada keseimbangan informasi (harga, kualitas).

Kecuali kalau (red: omongan negarawan ini) negara ini betul2 menganut faham Negara Sejahtera, dan mampu konsisten memberi jaminan sosial yang wajar bagi tiap warganya. Sehinga semua warga bisa berprofesi, berkarya dengan kesejahteraannya dijamin Negara, maka konversi “karya seni menjadi produk UMKM” tak perlu. Kenyataannya, air saja mesti beli, rumah sakit atau sekolah mendiskriminasi orang tak mampu, kan tidak fair kalau seniman, suku Asli, gak boleh jualan karya seninya.

Perencanaan wilayah dan kota dikaitkan dengan perencanaan pariwisata memang jadi harus mempertimbangkan dilemma ini. Saya jadi ingat potongan syair Rendra yang juga mengritik bisnis Pariwisata di satu daerah. Intinya digambarkan seorang wisatawan perempuan bilang ke suaminya, “Well, look John, mereka asli ya. Tanpa baju manjat pohon kelapa. Eksotis ya seperti monyet. Ayo kita foto”. Bagaimana operator pariwisata mengambil keuntungan dari “keaslian” tradisi. Namun sebaliknya, membiarkan mereka tidak monetized juga tidak fair, karena itu peluang adat mendapat keuntungan ekonomi.

Debat "seni untuk seni vs seni bertendens (sekarang komersial)" sepertinya juga abadi. Seingat saya Bagong K (bapaknya Butet dan Jadug) dan Garin Nugroho yang ambil jalan tengah. Mengambangkan yang seni banget (klasik, eksperimental) dan yang pop (komersial?).

Dalam dilemma perencanaan wilayah dan kota dan pengembangan ekonomi lokal ini, yang penting keseimbangan informasi diperjuangkan. Jangan seperti praktik pembangunan kota. Kepada warga pemilik tanah Pemda bilang ini kepentingan umum , tutup mata bahwa begitu prasarana dibangun para pengembang menikmati gain harga tanah puluhan kali. Karena itu menurut saya Planner juga mesti tahu dinamika harga tanah, supaya bisa menjembatani kepentingan masing-masing pihak.

Kembali ke perencanaan wilayah dan kota khususnya aspek supply-chain, idealnya produsen A, B, C, .....tahu di proses X nanti harga jualnya berapa (walau kasar) dan tiap jenjang porsinya berapa, apa kriteria mutunya, sehingga dia bisa menaikkan posisinya. [Risfan Munir, perencana wilayah dan kota, pengembangan ekonomi lokal]

Friday, May 21, 2010

Perencanaan Wilayah dan Kota: Kampung Batik Laweyan

Perencanaan wilayah dan kota, dan pengembangan ekonomi lokal contoh skala mikronya ialah pengembangan atau konservasi Kampoeng Batik Laweyan. Pemerintah Kota Surakarta berniat untuk meng-konservasi kawasan batik Laweyan yang selama ini dikenal sebagai salah satu sentra pembuatan batik tradisional, sekaligus sebagai salah satu warisan budaya dengan beragam motif batik yang telah diciptakan, dan bangunan peninggalan zaman dulu.

Walikota Solo Joko Widodo (Pak Jokowi) menjelaskan, rencana penataan lingkungan itu membutuhkan dana sekitar Rp 200 miliar. Dan, beliau berharap ada partisipasi dari masyarakat setempat, ini wajar mengingat banyak dari mereka yang usahanya sukses dan diuntungkan dengan pengembangan kawasan/konservasi Kapung Batik Laweyan ini (Tempointeraktif, 16-5-2010).

Sementara itu, Ketua Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan Alpha Febela Priyatmono mengatakan Kelurahan Laweyan telah menjadi kawasan cagar budaya berdasarkan surat keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik per Januari 2010.

Kampung Batik Laweyan memiliki sejarah, bangunan, lingkungan, batik, tradisi, adat istiadat, yang mencerminkan kekayaan budaya Indonesia. Dengan demikian, dia mendukung rencana konservasi terhadap kawasan tersebut. Dia menambahkan, masyarakat Laweyan selama ini juga sudah turut serta dalam konservasi, misalnya mengembalikan bentuk Langgar Laweyan seperti aslinya. “Kami swadaya untuk kegiatan itu,” jelasnya. Juga renovasi Langgar Merdeka, di mana masing-masing membutuhkan biaya Rp 100 juta. Selain itu, pemilik rumah kuno secara mandiri merenovasi rumahnya. “Agar kawasan Laweyan tetap memiliki ruh sebagai kawasan cagar budaya,” tuturnya.

Perencanaan wilayah dan kota atau penataan lingkungan Kampung Batik Laweyan juga diperkuat dengan kekayaan bentuk bangunan rumah para juragan batik yang dipengaruhi arsitektur tradisional Jawa, Eropa, Cina, dan Islam. Bangunan-bangunan tersebut dilengkapi dengan pagar tinggi atau "beteng" yang menyebabkan terbentuknya gang-gang sempit spesifik seperti kawasan Town Space. Kelengkapan khasanah seni dan budaya Kampung Batik Laweyan tersebut membuat Laweyan banyak dikunjungi wisatawan dari dinas dan institusi pendidikan, swasta, mancanegara (Jepang, Amerika Serikat, dan Belanda).
Kampung Batik Laweyan sudah terkenal sejak awal kemerdekaan republik ini. Bahkan jauh sebelum itu kampung Laweyan sudah mengukir sejarah dengan munculnya Serikat Dagang Islam ( SDI ) yang dibentuk oleh KH Samanhudi, salah satu saudagar batik terkemuka. Lewat SDI inilah nafas Islam menjadi bagian yang penting dalam perdagangan di Indonesia. Di wilayah ini pula berdiri bangunan Mesjid Laweyan yang konon dibangun pada tahun 1546 Masehi.

Krisnina (Nina) Akbar Tandjung, terdorong kepedulianya pada sejarah perjuangan tokoh pendiri bangsa, maka dia memprakarsai pendirian Museum Haji Samanhudi di Kota Solo. Tokoh Haji Samanhudi sendiri tidak terlepas dari panggung pergerakan nasional terutama Sarekat Islam (SI) dengan latar belakang Kampung Batik Laweyan, Solo. Museum ini di dekat rumah peninggalan Samanhudi di Kampung Laweyan, Solo itu. Di museum itu ditampilkan beberapa kisah: mengenai latar belakang pendirian Museum Haji Samanhudi, Kampung Laweyan, dan industri batik awal abad XX yang berisi gambar dan foto-foto Kampung Laweyan awal abad XX, gambar dan foto-foto masyarakat Laweyan baik pribumi maupun Tionghoa serta foto-foto Haji Samanhudi saat muda ketika terlibat dalam industri perdagangan batik.

Kawasan Kampung Batik Laweyan ini sejak dulu terkenal sebagai sentra industri batik. Seni batik tradisional yang dulu banyak didominasi oleh para juragan batik sebagai pemilik usaha batik, sampai sekarang masih terus ditekuni masyarakat Laweyan sampai sekarang. Sebagai langkah strategis untuk melestarikan seni batik, Kampung Laweyan didesain sebagai kampung batik terpadu, memanfaatkan lahan seluas kurang lebih 24 ha yang terdiri dari 3 blok.

Perencanaan wilayah dan kota atau khususnya penataan lingkungan ini diharapkan dapat mengungkapkan kisah proses pembuatan batik juga, supaya wisatawan, selain diharapkan belanja juga menikmati proses pembuatannya. Proses situ bisa meliputi pembuatan batik dengan menggunakan cap atau canting sebagai peralatan kerja. Dalam proses pembuatannya menggunakan lilin yang ditorehkan di kain putih. Lilin atau malam digoreskan menggunakan cap tembaga atau canting. Karena dibuat dengan cap maka dinamakan batik cap sedangkan yang menggunakan canting disebut batik carik atau batik tulis. Malam atau lilin ini melekat dikain putih lalu dalam proses pengerjaannya disertakan warna untuk memperindah corak motif batik. Bagaimana proses batik itu dikerjakan, labeling, pemasaran, yang mana sebagian dijual di pasar Klewer. Selanjutnya bagaimana yang diproses lanjut untuk menjadi pakaian jadi. Upaya promosi (branding) dilakukan melalui stiker yang ditempelkan di kain batik yang sudah jadi. Selanjutnya batik dipasarkan di toko batik atau dijual dalam partai besar di Pasar Klewer. Dan, sekarang tentunya ke seluruh tanah air dan mancanegara.

Perencanaan Wilayah dan Kota skala penataan lingkungan Kampung Batik Laweyan ditujukan untuk menciptakan suasana wisata dengan konsep utama "Rumahku adalah Galeriku". Artinya rumah memiliki fungsi ganda sebagai show-room sekaligus rumah produksi.Konsep pengembangan ini untuk memunculkan nuansa batik yang dominan yang secara langsung akan mengantarkan para pengunjung pada keindahan seni batik. Untuk mengenal lebih lanjut, bisa langsung ke sumber dari tulisan ini, terutama Kampoeng Batik Laweyan dan Pasar Solo ini.
Rangkuman tulisan diatas menunjukkan contoh perencanaan wilayah dan kota pada skala penataan lingkungan, yang memfasilitasi berkembangnya cluster pengembangan ekonomi lokal. Banyak pelajaran yang bisa ditarik dari pengelaman penataan lingkungan yang terkait pengembangan pariwisata, sejarah dan pengembangan UMKM, serta kerjasama pemerintah kota Solo, Walikota Jokowi dan para aktor pengusaha batik dan lembaga swadaya yang ada. [Risfan Munir]

Perencanaan Wilayah dan Kota: Peran Cluster Pariwisata

Pengembangan wilayah dan kota dengan pengembangan ekonomi lokal sulit dipisahkan, demikian kesimpulan posting sebelumnya. Selanjutnya tentang wisatawan dari Malaysia. Saya tambahkan mereka juga ke Bukit tinggi, Maninjau dan sekitar, juga Medan, Brastagi, Toba dan sekitar. Saya tanya ke manajer beberapa hotel di Bandung kunjungan mereka significant, dari length of stay dan spending nya. Selain FO, oleh-oleh Amanda brownies, Kartika Sari, juga Spa dan sejenis.

Seorang Prof ahli pariwisata pada Seminar Pariwisata di ITB cerita kalau dia periodik ke paguyuban Angklung Mang Ujo dan sejenis. Mereka belajar bagaimana mengembangkan angklung itu menjadi atraksi wisata, melestarikan dan meluaskannya. Ini tentu tantangan bagi kita.(note: S2 Pariwisata ITB juga punya nama lho, termasuk dari kalangan NHI yang ada dari dulu. Kalau ttg Tourism Planning mereka rely on ITB).

Perencanaan wilayah dan kota. Bicara supply-chain, masih ingat waktu pasar Tanah Abang terbakar, ada bom di Kuta Bali, yang teriak juga para pedagang dan pengrajin dari Jatim, Jateng, Jabar, Sumbar, Sulsel dll. Karena Bali (Kuta, Sukawati), Tanah Abang, Mangga Dua, Beringharjo dan sejenis di beberapa kota besar, sudah jadi outlet bagi produk kerajinan, pakaian dll, dari pusat-pusat kerajinan dan UMKM di berbagai provinsi di Indonesia. Supply-chain yang terbentuk luas, antar provinsi.

Kedua, mengenai Ubud- Bali, juga Jepara yang sudah punya nama besar, brand nya kuat kata orang marketing, soalnya adalah bagaimana membinanya menjadi cluster yang kuat -berdaya-saing, berkeadilan dan berkelanjutan.
Apakah mereka sekedar bergerombol memanfaatkan brand lokasi, atau sudahkah mereka saling bermitra, input/output relation untuk mengembangkan pasar, desain, pengadaan raw materials, termasuk mengelola lingkungan, ruang, utilitas dan prasarananya. Ini juga menjadi tantangan ke depan.

Concern perencanaan wilayah dan kota memunculkan pertanyaan bagaimana posisi cluster (ekonomi lokal) dalam ekonomi wilayah? Cluster ini bisa dianggap sel, namun di banyak daerah sudah menjadi core (jantung) ekonomi wilayah. Dalam hal ini mungkin kita juga harus meninjau ulang pandangan kita tentang core yang selama ini diartikan semata sebagai besarnya kota .

Terkait perencanaan wilayah dan kota. Kalau kita baca Porter s Competitive Advantage (of the Nation , yang dibahas kan clusters daripada kota sebagai pusat unggulan daerah atau negara.

Concern perencanaan wilayah dan kota, dalam sustainability of cluster seperti Jepara, Pandeisikek, Tasikmalaya, Ubud, dst, sudah melintas zaman dengan strategi alamiah dan daya saing dan daya adaptasinya. Bahkan dengan era pemerintahan silih berganti Belanda, Jepang, era enam presiden RI mereka tetap exist.

Dalam perencanaan wilayah dan kota praktis ini, menganalisisnya jangan rumit-rumit. Ini zaman absurd, end of history , orang mewaspadai perilaku kapitalistik, lha ternyata "pusat kapital-nya kok justru di negara penganut politik komunis". Bingung toh! Jangan-jangan kategori yang dibuat ilmuwan selama ini tidak valid lagi. ... We are in journey to the Great Unknown ...... Bagaimana kalau kita nongkrong saja di lapangan, amati, ikuti apa yang riel terjadi kayak Geertz yang nongkrong di Pare, mungkin sambil makan pecel n tahu Kediri dan macho ngisap kretek GG merah).

Sambil kita amati proses yang terjadi, amati mana yang jalan/tidak. Apa key success factors-nya? Unsur, komponen, actors/stakeholders, pola kemitraan, proses, events (siklus periodic, promo) nya yang menentukan? Bisakah direplikasi, apa syaratnya? Demikianlah ada hubungan natural saling mengisi antara perencanaan wilayah dan kota dengan kegiatan pengembangan ekonomi lokal, khususnya dalam pengembangan kawasan pariwisata dan industi kreatif. [Risfan Munir]

Thursday, May 20, 2010

Perencanaan Wilayah: Perspektif Bird-eye-view dan Worm-eye-view

Sebagai perencana wilayah dan kota, dalam pengembangan ekonomi lokal seyogyanya jangan bersikap seperti orang Pusat dengan beban "unggulan nasional", melihat dari atas (bird's eye view) kalau datang ke komunitas ekonomi lokal sebaiknya ikut bersama mereka (worm's eye view). Karena kemungkinan besar tak akan menemukan yang Anda "cari". Sebaliknya harus pakai pendekatan fenomenologi yaitu, "jangan mencari yang tak ada", tapi mulai dari yang ada.

Kalau dilihat dari luar mungkin perkembangan Bali biasa saja, tapi kalau diperdalam akan banyak ditemui dinamika. Di Bali, tidak seperti yang Anda lihat secara permukaan itu di dalamnya terjadi dinamika yang luar biasa. Sebagai contoh di Ubud saya ketemu kelompok ("trading house") Mitra Bali. Ini dimotori 4 orang muda yang membina, terutama marketing, produk kerajinan hampir separuh Bali (untuk jenis produk tertentu). Dia gabung dalam Alternative/Fair Trade network. Network internasional ini yang menberi info tentang "pasar" di banyak negara. Misalnya, menjelang musim ajaran baru di USA atau Eropa, ada tema utama "kura-kura lucu”.
Maka Mitra Bali membuat desain "kura-kura lucu" dalam berbagai model. Lalu mereka undang kelompok pengrajin dari beberapa kabupaten di Bali. Mereka tawarkan berbagai pola kura-kura lucu itu kepada mereka. Ada yang biasa membuat tas, kotak pinsil, kotak tisu, hiasan pensil, dst. Mereka diberi waktu 2 minggu untuk menerapkan pola itu pada produk masing-masing. serta mengajukan biaya/harganya.

Kemudian "trading house" ini akan menilai, terima/perbaiki/ tolak, bagi yang Oke akan diberi uang muka untuk memproduksi sekian. Ada juga kerjasama dengan perbankan.
Jadi layanan trading house mini ini adalah mewarnai desain, link dengan pasar, packaging, dan link dengan perbankan. Ini adalah model yang layak direplikasi. Komitmen mereka terhadap alternative fair trade, yang punya misi: membangun kemitraan global diluar jalur yang kapitalistik semata, concern terhadap "green criteria", anti mempekerjakan anak di bawah umur. Imbalan dari networking itu mereka dapat fasilitas networking yang luas. Jadi kerajinan Bali juga berkembang pada jalur ini, selain yang klasik/tradisional dan yang kontemporer.

Sekali lagi kalau dalam perencanaan pengembangan wilayah dan kota konvensional banyak digunakan perspektif “bird's eye view”, maka dalam pengembangan ekonomi lokal digunakan perspektif “worm's eye view” (sudut pandang cacing). [Risfan Munir, perencana wilayah dan kota, pengembangan ekonomi local, alumni ITB]

Tuesday, May 18, 2010

Perencanaan Wilayah: Core Competence Klaster UMKM

Perencanaan Wilayah Kota menyangkut pengembangan ekonomi lokal dan peningkatan daya saing daerah. Seperti saya kutip dari pakar pemasaran Al-Ries "We live in the battle of perception, not product".(Silahkan baca buku saya "Jurus Menang dalam Karier dan Hidup ala Samurai Sejati"),

Agak berlebihan memang, tapi ya begitulah. Pulau Belitung tidak terbayangkan sebagai DTW sebelum kisah "Laskar Pelangi". Betapa sering kita datang ke satu lokasi "ada gubuk, batu besar, pohon tua". Tak ada kesan apa-apa. Baru setelah disodori kisah ini dulu tempat Sang Tokoh waktu kecil atau waktu dibuang..... Kita jadi antusias. Tapi lalu bagaimana dukungan tangible nya (produk, sarana, prasarana). Tapi kalau tidak diimbangi manajemen yang baik bisa segera merosot, seperti adanya rumor tentang malaria, dst

Budayawan mungkin melihat sebagai produk budaya. Tapi Rhenald Kasali, seperti pada buku yang diceritakan Pak Djarot melihatnya sebagai "knowledge" yang dikembangkan komunitas (organisasi bisnis) yang perlu di"manage".

Dalam bisnis jasa, termasuk pariwisata, dalam starategi pemasarannya dikenal istilah 7P. Kalau untuk produk umumnya 4P (product, price, place, promotion), untuk wisata ditambah 3P (people, process, physical evidence). Jadi yang tangible dan intangible memang dipadukan.

Kalau kembali kepada kasus Jawa Tengah. Saya pikir "kebanggaan akan budaya khas sendiri" memang harus dikaitkan dengan "marketing" juga. Supaya ada alasan juga memadukan "intangible" dan "tangible" asset ekonomi lokal, khususnya ekonomi lokal. Yang terjadi di Jawa Tengah menurut saya baru terbatas mencoba "bangga pada budaya sendiri". Tapi apa manfaatnya, menariknya, kenyamananannya bagi wisatawan, masih "diserahkan ke para wisatawan sendiri".

Sebagai contoh: Kalau menurut statistik wisatawan terbesar adalah dari Asia Timur (Jepang, Taiwan dan lainnya yang tertarik karena Borobudur dan artefak Budha lainnya) tapi hal yang paling nyata soal informasi (rambu, brosur) yang berhuruf kanji sangat terbatas. Ini beda dengan Bali yang sudah lebih biasa berinteraksi dengan wisatawan. Orang Jawa Tengah masih seperti daerah lain masih di level "berusaha bangga", sementara Bali sudah di level "menawarkan paket-paket" sesuai kondisi wisatawan (budget dan length of stay) dari tiap segmen wisatawan.

Sekali lagi, untuk produk apapun tangible/intangible perlu mengaitkan "aset budaya" dengan "kebutuhan pembeli/penikmat" kalau mau dijadikan potensi ekonomi lokal/daerah.

Kesimpulan: dalam Perencanaan Wilayah dan Kota, pengembangan ekonomi lokal termasuk komponen penunjang yang utama, oleh karena itu penetapan core competence dalam pengembangan klaster akan besar perannya. Selanjutnya bisa baca juga di bahasan Ekonomi Perkotaan. Silahkan. [Risfan Munir].

Monday, May 17, 2010

Perencanaan Wilayah: Pengembangan Ekonomi Lokal sebagai Sel-sel Wilayah

Memang pengembangan ekonomi lokal ini sesungguhnya "lahan amal" Perencana Wilayah Kota yang masih perlu lebih banyak perhatian, Area ini unik, karena pembina UKM tidak main di "lokal"nya, sementara Perencana Wilayah Kota umumnya tidak main di "sektor kegiatan"nya. Tapi sesungguhnya ini adalah sel-sel wilayah, bagian terkecil dan riil dari pengembangan wilayah. Cluster adalah perpaduan area fisik, prasarana dan hubungan antar kegiatan yang saling terkait (supply-chain management), jadi ada planning, ada management, ada business development services (BDS) nya juga.

Soal marketing, dalam pendampingan peran saya (fasilitator) sesungguhnya lebih pada "connecting people", menghubungkan "pemasok - pengrajin - pengumpul - pedagang/eksporter", selanjutnya mereka jalan sendiri. Yang utama adalah mengumpulkan para pelaku UKM itu, Lalu membentuk kemitraan yang produktif. Ini bagian crucial, karena pada kenyataannya banyak daerah dimana SKPD Pertanian > Industri > UKM & Koperasi > Perdagangan tidak saling komunikasi, rencana/priortasnya gak nyambung.

Para pelaku UKM masih perlu dibangkitkan kesadaran "bersama kita bisa"nya. Karena tanpa itu, mereka satu demi satu "ditundukkan" oleh rentenir dan tengkulak ijon (beli saat mentah).

Tentang industri "makanan rumahan", memang kebanyakan titik lemahnya di packaging ya. Saya di Sumatera Barat mandapat banyak keluhan itu, sehingga dalam pertemuan-pertemuan klaster saya ikut mengingatkan Pemda, kalau membantu beli alat buat mengepak (plastik) untuk pembuat makanan. Tapi di Sumbar relatif banyak ragam makanan/camilan oleh-oleh yang tahan lama, seperti juga di Jawa Tengah (terutama alen-alen, yaitu cincin warna-warni dari singkong, untuk latihan adu "keras" dengan gigi kita he he). Harapannya semua bisa seperti brownies Amanda, Karya Umbi, Kartika Sari (Bandung), Christin Hakim (Sumbar), Zulaikha (Medan) dan Bolu Meranti, Bandeng Semarang, dst

Sekarang layanan ekspedisi di tanah air sudah bagus ya terutama antar kota besar, dari Medan s/d Makasar, sehingga bolu dari Medan bisa dipesan via internet dan dikirim via Tiki/JNE, kalau intra-island bisa dengan travel (Cipaganti, X-Trans dst) yang menyediakan layanan khusus untuk kiriman makanan (yg expired datenya cepat).
Begitu pula umumnya pengajin tembikar, kayu di Jawa, umumnya bisa terima di rumah, mungkin sampai Perancis juga. Jadi Mas Fajar bisa mengaku di Indoinesia punya usaha mebel, kalau ada yang pesan teman-teman Jepara siap supply. Kasarnya begitu.
Banyak mahasiswa "memfasilitasi" petani bunga di Cipanas, Bogor untuk memasarkan bunga-bunga mereka dengan foto yang dipajang di website, kalau ada yang minat mereka memfasilitasi. Diaspora marketing kali ya namanya. Supply-chain yang ditopang jejaring social network diaspora orang Indonesia yang mulai tersebar.
Sekali lagi warna lokal dari pengembangan wilayah mungkin bisa dikuatkan dengan pengembangan ekonomi lokal ini. [Risfan Munir, perencana wilayah/kota dan pengembangan ekonomi lokal]

Pegembangan Wilayah: Klaster UKM dan Pendidikan Lokal

Perencanaan wilayah dalam praktik tingkat lokal melibatkan pendekatan Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL) yang menyangkut pengembangan kemitraan klaster UKM yang saya fasilitasi memang selalu berusaha melibatkan SMK dan lembaga pendidikan lainya. Karena SMK (teknik ex STM) biasanya punya alat bantuan German, Spanyol, Jepang yang cukup bagus.

Tapi pelaksanaan kemitraan lokal itu tak harus menggiring anak pengrajjin sekolah. Para pengrajin bisa dihadirkan ke sekolah, dan anak sekolah bisa praktik di lingkungan kerja pengrajin. Malah kalau perlu anak(anak pengrajin yang pandai bekerja, dengan ditambahi pelajaran tertentu bisa diikutkan Paket C. Jadi mereka bisa ikut ujian "penyetaraan" tanpa berlama-lama meninggalkan tempat kerja.

Kedua, soal "identitas lokal" dan daya saing atau daya jual, kita perlu melihatnya dengan cermat. "Identitas lokal", kebanggaan budaya, bisa lain dengan "apa yang dicari pembeli".

Kita umumnya melihat keunggulan Jepara adalah di "seni ukir" khas Jepara yang terkenal itu. Tapi kenyataan penjualan terbesar dan yang mayoritas dikerjakan pengrajin di sana adalah "desain bawaan pembeli". Jadi pengrajin disana keterampilan perkayuannya dipakai untuk menggarap desain pesanan.

Pertanyaannya, kita mau membantu perekonomian mereka, atau menyuruh mereka jadi pelestari potensi budaya? Yang jelas kompetensi mereka pada "keterampilan membuat" mebel, ukir asli atau pesanan.

Di klaster-klaster UKM itu beberapa anak muda biasa membantu usaha orang tuanya/ tetangganya untuk komunikasi dengan buyer dari banyak negara, soal kesepakatan desain.
Kadang buyer hanya kirim sket kasar, lalu mereka gambar yang baik, atau buat sampel, dipotret, dikirim untuk dapat kesepakatan.

Klaster-klaster UKM dengan kemitraan dan fasilitasi BDS networks sudah jalan. Sekolah kejuruan di Solo (lagi-lagi prakarsa Walikota Jokowi) di link ke ATM yang jadi cikal Technopark Solo, ada dukungan dari Swiss-German, dan Ristek/ BPPT yang menjadikannya sebagai salah satu hub bagi simpul-simpul diseminasi teknologi (saya lupa namanya), tapi networknya internasional.

Kesimpulan: kegiatan ekonomi lokal sesungguhnya menggeliat terus. Tapi kuncinya kalau mau bantu, apresiasi upaya dan keberhasilan mereka. Jangan bawa konsep ttt yang rigid, yang kemudian melihat upaya mereka sebagai "kesalahan". (Risfan Munir)

Sunday, May 9, 2010

Perencanaan Wilayah Kota: Engineering atau Policy Studi

Refleksi Perencanaan Wilayah Kota kali ini dipicu oleh diskusi dengan Pak Abiyoso, yang mengaharapkan peran perencana wilayah dan kota agar lebih leading dalam engineering dan mengarahkan pembangunan wilayah.

Pertama, saya salut atas kepercayaan kepada profesi PWK. Pada saat wacana PWK sudah menyempit menjadi perangkat konservasi lingkungan, atau acuan pengurusan IMB semata. Ada yang percaya dan optimis pada wacana PWK sebagai pemberi arah pembangunan wilayah, pemerataan antar wilayah, seperti era Pak Poernomosidhi dan Pak Sugiyanto S. Ini tentu mendukung Buku 3 RPJM Nasional.
Kedua, namun bagaimanapun semangatnya, sebagai ilmu PWK juga punya basic concept dan teori-teori yang mendasarinya, seperti Teori Lokasi dan Teori Pertumbuhan, yang kaidahnya tidak bisa dilanggar atau dipaksa. Seperti “gravitasi bumi”, kekuatan itu bisa dimanipulasi atau dimanfaatkan, tapi tidak bisa dilawan. Artinya ahli PWK tidak bisa gagah-gagahan merencana pembangunan permukiman di padang pasir tandus, di lokasi terisolasi tanpa SDA ataupun nilai lokasi.
Ketiga, kalau PWK disebut engineering bisa saja. Karena sebagian besar yang sekolah PWK memang bercita-cita jadi Insinyur. Tetapi sayang, urusan pembangunan kota, apalagi wilayah adalah masalah public. Engineer bisa merancang model pakai computer aided design (CAD), berbagai perangkat simulasi. Tetapi pembangunan permukiman adalah keputusan public (eksekutif, legislative, masyarakat, dan … suka/tidak ……dunia usaha).
Keempat, mungkin seperti kata Thomas Alva Edison, “1-5% ide, 95-99% kerja keras”. Rencana yang dibuat ahli PWK, atau karya “engineering” itu artinya baru 1-5% dari upaya, sementara itu masih diperlukan upaya memenangkan “public policy” (persetujuan eksekutif, legislative, masyarakat,LSM, lembaga sektoral, musrenbangda, prov, nas, setahun, dua tahun, tiga tahun …). Disinilah bagi sarjana PWK bisa memilih, mau jadi “engineer murni” (mungkin 80% teknik, 20% public policy), atau jadi ahli perencana “ruang public” (20% teknik, 80% public policy). (NB: Kalau mau jadi konsultan juga perlu mengenali kebutuhan dan tendensi klien nya, ke “teknik” atau ke “policy” (planning, programming, budgeting, management pelayanan).
Kelima, implikasi dari adanya dua sisi “teknik” dan “public policy” di atas tentu akan menyangkut siapa aktornya. Pada saat ini yang membangun kota, newtowns, realestat, kawasan industry, pariwisata, ya swasta. Sementara kalangan Pemerintah, makin mengarah kepada fungsi regulator, pengaturan, pembinaan, pengawasan (Arah pembangunan + Turbinwas). Jadi kalau hobi “teknik” akan lebih terbuka peluangnya kalau kerja di developer. Biar Bos yang membebaskan tanah, perencana tinggal menggambar dengan CAD-nya. Namun kalau suka “policy” akan lebih banyak keasyikannya di pemerintahan, atau LSM advokasi. Ini tentu over-simplified ya, tapi kasarnya begitu.
Keenam, kalau logika diterima, diikuti, mungkin kesedihan dan apatisme Perencana bisa sedikit berkurang. Masalahnya selama ini, memperlakukan wilayah yang penduduknya aneka rupa (pengusaha, karyawan, suku terpinggirkan, kelompok radikal, PKL, dst) sebagai “kertas kosong”, ya repot. Lalu semua lembaga pemerintah yang lain, pelaku ekonomi, kompetisi anggaran, menjadi “kambing hitam” kekecewaan. Kalau mindset nya sejak awal melihat Perencanaan sebagai pergulatan “public policy” mungkin beda. Sehingga dari awal sudah siap mental bahwa Rencana yang disusunnya pasti ada yang setuju ada yang tidak, ada yang setuju globalnya, tapi eksekusinya tidak, mengeluarkan anggaran tidak, dst. Dan, tentu melengkapi diri dengan “alat tempur” (ilmu lobby, nego, persuasi, sampai provokasi, bicara di kantor atau bicara di lapangan, ….. otak oke, otot boleh… he he he.., dst), bagaimana memenangkan proses jaring aspirasi, musrenbang, legislasi, sampai ke orang-orang yang menyusun “draft peraturan/perundangan”, dan pemegang otoritas anggaran. Setidaknya tahu lah cara memetakan dan mempengaruhi stakeholders. Dan kalau kalah, biasa, bangkit lagi, namanya juga perjuangan. Cuma mungkin syaratnya harus jelas, apa manfaatnya bagi setiap kelompok stakeholders.
Ketujuh, kembali ke profesi. Untuk yang baru memulai karier, memilih sisi engineering dari PWK sesuai cita-cita tentu bagus sekali. Tapi cari tempat kerja yang betul-betul menerapkan desain, seperti developer yang sekarang banyak membangun. Tapi, sisi ilmu PWK yang lain, mungkin yang lebih luas adalah yang terkait “urban/regional development policy” dan “development management”. Ini area profesi PWK yang ternyata sangat luas, dan para senior Planner leading (beberapa eselon-1) disana. Sisi ini menawarkan pekerjaan perencanaan, proses regulasi, programmining, budgeting. Mencakup sector pembangunan yang luas, seperti perencanaan pengembangan perumahan, prasarana kota, wilayah aliran sungai, transportasi, lingkungan hidup, pariwisata, pembangunan perdesaan, komunitas, kelautan, dst.
Kedelapan, pilihan di atas juga berlaku bagi yang mau melanjutkan sudi, ke master atau doktoral degree. Mau pilih yang bersifat "spatial engineering/design" murni atau yang cenderung ke "public policy". Dan ada pilihan tengah barangkali adalah sekolah "business administration", mengingat saat ini kian banyak proyek pembangunan perkotaan dan infrastructure yang melibatkan aktor pemerintah dan swasta. Pengembangan wilayah kota dan prasarana nya dengan model pendanaan public-private partnership. [Risfan Munir]