Sunday, October 10, 2010

Renungan (Pribadi) 51th Planologi ITB (2)

MELIHAT KE DEPAN

Setelah merenung ke belakang, ada kebutuhan untuk melihat ke depan. Ini tentu menyangkut trend faktors SETEP (Sosial, Ekonomi, Tekno, Ekologi, Politik).

Sosial

Jumlah penduduk sekarang 238 juta, pertumbuhan masih cukup tingg. Arus migrasi ke kota besar masih trendy. Sementara dari luar Jawa ke Jawa untuk belajar dan mencari kerja di perusahaa. Dari perdesaan Jawa banyak yang harus jadi migran ke luar negeri.
Implikasinya ke depan beban kota-kota besar masih kian besar dengan masalah konflik, kemacetan dan kekumuhannya. Di sisi lain masalah buruh migran di luar negeri, terutama di negara tetangga juga frekuensinya meninggi. Naik menjadi masalah hubungan antar negara.
Masalah sosial dib sekitar proyek investasi pertambangan, industri, perkebunan juga masuknya investor skala besar ke KTI juga di beberapa titik memicu masalah sosial setempat. Sementara konflik dengan sebab lain juga terjadi di beberapa wilayah.
Hal-hal ini juga ada hubungan sebab akibatnya dengan pengembangan wilayah.

Ekonomi

Bicara ekonomi mau tak mau bicara aktornya. Ekonomi nasional saat ini sedang dalam kondisi prima. Indeks IHSG melamapaui 3500, niai ekspor naik, surat utang pemerintah diminati, dan arus investasi asing meningkat. Kalau melihat akumulasi kapital beberapa perusahaan swasta nasional terjadi kelipatan mencengangkan. Bahkan ada developer di Jabodetabek yang land bank nya mencapai puluhan ribu hektar.

Secara kewilayahan pemain modal besar ini juga sedang menujukan investasinya ke KTI. Baik dalam industri ekstraktif tambang, kehutanan, belakangan pertanian skala besar, pariwisata, dan mulai di perkotaan juga. Event yang menandai trend yang layak dicatat misalnya penyataan LIPPO group yang pada ultah ke 60 bisnisnya menyatakan bahwa masa depan ada di KTI.

Di perkotaan pemain swasta juga ekspansif, di beberapa kawasan industri juga. Namun kecenderungan saat ini tampaknya manufaktur masih dibayangi deindustrialisasi. Mungkin karena besarnya kendala manufaktur, ekses modal banyak disaluirkan ke sektor properti, khususnya perumahan dan perdagangan, termasuk pembangunan banyak newtowns dan supermal. Ini tentu agak menghawatirkan kalau oversupply bisa menjadi bomb waktu akibat gelembung harga tanah dst dan kredit macet. Sementara ekspor tak terdorong karenanya. Belum lagi dampaknya bagi sektor perdagangan/retail setempat, karena keuntungan pertokoan modern lebih disalurkan ke luar daerah.

Pada kutub lain, perkembangan ekonomi masyarakat umumnya, sektor UMKM, khususnya yang Kecil dan Mikro yang mencakup 95% lebih pelaku ekonomi, dan menyerap 95% an lapangan kerja juga. Pada kenyataannya mereka ini pada data lain juga mayoritas sektor informal. Terlepas dari soal definisi 90% lebih peaku ekonomi Indonesia masih sektor pegel, gurem dan pegel (pelaku golongan ekonomi lemah). Mereka ini dalam statistik disebut pelaku ekonomi, namun tampak visualnya bisa PKL, usaha rumahan, pengisi lahan tak bertuan, lahan marginal, bantaran kali, pinggiran pabrik, konstruksi, tambang, kebun, hutan. Sehingga lebih mudah dianggap sebagai pelanggar aturan, yang selayaknya diusir. Jadi secara statistik disanjung sebagai "katup penyelamat", tapi secara riil "diusir", sehingga tidak pernah memupuk kapital, karena setelah menabung sedikit, dipakai untuk menebus alat kerja akau mengganti yang dihancurkan.

Masalah kemiskinan yang besar dengan berbagai manifestasinya masih akan menjadi tantangan pokok dalam pembangunan di Indonesia ke depan.

Pada sektor pemerintah, pernyataan Menkeu bahwa anggaran terbatas, BUMN pun akan terus diprivatisasi. Maka meskipun secara kenyataan anggaran pembangunan masih jadi penggerak ekonomi. Namun instrumen kebijakan fiskal mungkin bukan alat ampuh lagi untuk merubah pola, karena sebagian sudah dialokasikan sebagai DAU, anggaran rutin/aparatur, cicilan utang dan bunga, sedang DAK sifatnya sektoral.

Pola pembangunan regional dengan demikian akan lebih dpengaruhi oleh pola minat investasi swasta nasional dan asing. Sehing nantinya perlu dilihat juga pengaruh pemerintah dalam "menjaga keseimbangan kepentingan pertumbuhan ekonomi, fasilitasi investasi (swasta), dan partisipasi masyarakat".

Peran pemerintah sebagai regulator serta pengeturan, pembinaan dan pengawasan menjadi andalan daripada sebagai investor (prasarana). Dengan keterbatasan anggaran ini maka mesti sangat pandai dan jeli memilih titik-titikb "akupuntur" intervensi dan obyek pengaturan yang tepat. Di satu sisi, kalau dianggap menyulitkan swasta akan mendapat komplin, sementara kalau terlalu menekan dan menyudutkan usaha kecil, mikro akan mendapatkan "perlawanan" secara politik. Dan dengan populasi yang besar, maka usaha kecil, mikro berarti pula konstituen penyumbang suara yang perlu direbut hatinya.

Teknologi

Teknologi baru terutama bidang ICT (information, communication technologi) dan aplikasinya dalam mempererat komunikasi lintas jarak/ruang dan waktu tak bisa tidak akan mempengaruhi pola pengambilan keputusan bidang ekonomi, pemerintahan, sosial budaya. Setiap kejadian, keputusan di satu tempat, dalam hitungan detik sudah ditangkap oleh orang di daerah lain, bahkan secara internasional. Ini berkah, tapi juga bisa jadi maslah baru pada sisi lain.

Banyak warga tinggal terpencil melihat "indahnya ibukota" dari televisi, sehingga pengharapannya meningkat, sementara lingkungan tidak mendukung, maka kekecewaan, rasa diperlakukan tidak-adil meningkat. Juga konflik antar kelompok dengan kelompok lain, atau dengan aparat, bisa memicu keresahan nasional, salah-salah diikuti kejadian serupa di tempat lain.

Sedang teknologi GIS membawa manfaat bagi akurasi perencanaan. Simulasi untuk antisipasi berbagai skenario bisa dilakukan. Serta penyebarannya secara nasional untuk saling sharing juga dapat dilakukan cepat. Ini akan sangat membantu efektivitas kerja perencana.

Di sisi lain, karena penguasaan ICT ini tidak merata, bagi yang mampu vs yang tak mampu, maka kesenjangan informasi juga jadi masalah baru. Penguasaan data ekonomi, sumber daya daerah yang timpang juga membuat yang kuat makin cepat meninggalkan yang lemah. Ini menjadi tantangan baru bagi kaum profesi untuk mengurangi kesenjangan informasi dengan aplikasi ICT yang lebih terjangkau, dan kemauan untuk berbagi informasi.

Ekologi

Masalah ekologi atau lingkungan hidup kian terasa dengan gejala climate change yang kian menunjukkan gejalanya. Pola musim hujan atau kemarau yang berkepanjangan kian menyulitkan kehidupan petani. Sulit menentukan kapan musim tanam yang tepat, dan tentu mempengaruhi stok bahan pangan, produksi untuk ekspor. Sehingga mempengaruhi pula pendapatan petani, harga pangan dan produk pertanian lainnya. Walhasil mempengaruhi perekonomian secara keseluruhan.

Kekeringan panjang sempat mengurangi sediaan air di waduk-waduk. Di beberapa daerah telah jadi salah satu sebab kurangnya pasokan listrik, sehingga proses produksi dan pembangunan cukup terganggu.

Pada sisi lain masalah lingkungan yang diakibatkan pembukaan hutan untuk perkebunan (sawit, dst), pertambangan, pertanian rakyat, telah menjadi masalah lingkungan yang dampaknya muncul secara nnyata seperti bencana alam Wasior yang baru terjadi.
Masalah lingkungan sekitar perkotaan atau permukiman, terutama kota besar yang berpenduduk padat juga kian akut, tanpa ada solusi yang significant dan applicable.

Kalau kecenderungan yang ada tidak bisa diubah, maka masalah ekologi di perkotaan dan di wilayah rawan akan semakin manjadi-jadi, sehingga kian sulit diatasi atau dikendalikan.

Politik

Dalam bidang politik, demam reformasi nampaknya belum menunjukkan segera mereda. Proses demokrasi formal yang memilih anggota legislatif (partai) dan pemimpin (nasional, daerah) ternyata juga tidak serta merta menghasilkan pemimpin yang didukung penuh dan efektif bekerja. Kericuhan, protes berkepanjangan, jegal-menjegal terjadi terus dimana-mana.

Misi memberantas korupsi juga telah menjadi ajang saling tuduh, cara untuk menggembosi lawan politik. Dan, tren yang memprihatinkan mengarah kepada tuduhan atau 'ketidak percayaan pada legitimasi lembaga' negara. Juga mempertanyakan aturan perundangan yang ada. Ini sungguh memprihatinkan, karena menghambat kerja lembaga pemerintah, disamping menyebarkan situasi saling tidak percaya.

Pola pemilihan umum yang mengandalkan cara-cara iklan berbiaya tinggi, mau tak mau membuat politik dicirikan kerjasama dengan pemodal. Kalau tidak dalam bentuk sponsor (hutang budi), juga pemodalnya sendiri terjun dalam poitik. Ini mau tak mau mengundang pertanyaan akan netralitas pilitikus dalam kebijakan ekonomi yang menyangkut kepentingan kaum padat modal.

Dalam situasi seperti ini, planning yang masih kuat mengandalkan instrumen "regulasi, law enforcement" dalam implementasi rencananya, menghadapi tantangan situasi politik yang sulit. Rencana yang selama ini diyakini bisa terlaksana dalam bentuk peraturan, jika ada konflik kepentingan, bisa-bisa aturan dan justifikasi rencana itu yang dipertanyakan.

Situasi SETEP itulah sementara ini yang melintas dalam pikiran saya dalam suasana setengah abad Planologi atau PWK di Indonesia ini.

Banyak tantangan, tentu banyak pula peluang yang terbuka untuk profesi perencanaan wilayah dan kota yang komprehensif lingkupnya.

SIMPULAN
Dari segi aktor, Perencanaan di masa depan, tak bisa tidak saya pikir perlu mempertimbangkan trologi "pemerintah - swasta - masyarakat" dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pengendaliannya.
Tak bisa lagi Perencana menyusun dengan asumsi instansi-instansi tertentu yang akan melaksanakannya.
Kenyataannya banyak swasta yang membangun realestat, newtown, kawasan industri, wisata dan lainnya.

Potensi masyarakat dalam pembangunan lingkungannya sendiri juga tidak bisa diabaikan. Selain karena pemerintah daerah tidak punya anggaran, partisipasi masyarakat akan menjadi wahana pemberdayaan.

Otonomi daerah boleh jadi pada dekade mandatang semakin dirasakan kenyataannya. Urusan-urusan pembangunan dan pelayanan publik semakin nyata ada pada pemerintah daerah. Untuk itu penguatan kapasitas dan kapabilitas Pemda dalam perencanaan dan manajemen pembangunan lebih lengkap menjadi semakin diperlukan.

Hal yang perlu dicermati adalah realita Pemda yang punya otonomi tetapi kapasitasnya relatif terbatas, kadang bertemu dengan pemodal yang kapasitas pendanaan dan kapabilitas manajemennya jauh melebihi Pemda, punya jaringan nasional bahkan internasional. Sementara kerjasama antar daerah juga masih sulit dilakukan. Dalam situasi ini peran Pemda sebagai regulator, fasilitator yang melindungi kepentingan publik menjadi tantangan besar.

Pada sisi lain, masyarakat, warga tetap butuh pelayanan, dukungan, fasilitasi, baik untuk pelayanan kesehatan, pendidikan, lapangan kerja, dan lainnya. Sementara kemampuan anggaran Pemda terbatas. Kekecewaan masyarakat tentu tidak dapat dibiarkan.
Karena kemampuan Pemda (terutama anggaran) memang terbatas, maka perubahan sikap dan strategi perlu dilakukan.

Selama ini Pemda atau pemerintah umumnya berasumsi bahwa sumber daya di tangannya, dan masyarakat dianggap cuma bisa minta, sehingga juga diperlakukan sebagai obyek, bukan subyek. Sehingga mudah diperintah, diatur, dilarang, digusur. Dengan kenyataan yang ada, akan dibituhkan sikap bahwa masyarakat (sebagian besar) punya kemampuan, hanya perlu difasilitasi, diizinkan (bukan malah dimintai surat, biaya, bahkan digusur) atau diberi stimulan dan diberdayakan agar mandiri. Peran inisiatif swadaya masyarakat sangat dibutuhkan, sayangnya kehadirannya masih terbatas dan sporadis.

Hal yang menarik dicatat ialah trend tumbuhnya kegiatan CSR sebagai cermin adanya agenda dari korporasi yang melakukan kegiatan membantu pembangunan masyarakat atau komunitas tertentu. Ini potensial untuk dipadukan dengan program pemerintah dan Pemda serta potensi swadaya masyarakat. Kalau bisa difasilitasi bisa menjadi potensi bagi pembangunan daerah.

Akan menjadi tantangan dalam perencanaan di masa depan dengan memadukan ketiga sumber daya "swasta - Pemda - masyarakat". Dan, kepentingan ketiganya bisa diakomodir. Karena selama ini, kenyataannya, kian lebih banyak pembangunan ekonomi dan fisik dilakukan swasta. Sedang masyarakat mencari solusi sendiri dengan membuka usaha mikro, kecil dan mengembangkan permukiman sporadis. Sementara Pemda tampak tak kuasa mengendalikannya karena menata diri dan memperbaiki prasarana yang rusak saja mesih kesulitan, belum lagi soal ekses Pilkada. Ini adalah salah satu tantangan riil bagi para perencana.[Risfan Munir]

Renungan (Pribadi) 51th Planologi (1)

Menjelang 51th Planologi ITB (PWK-ITB) saya mengalami kemacetan kota Jakarta, membaca bencana alam Wasior, melihat kota yang acak dengan perkampungan padat, PKL cermin angka kemiskinan masih tinggi, dominanya sektor informal, karena kurangnya pekerjaan formal, dst. Apa hubungan kekacauan dan bencana dengan peran saya sebagai sarjana perencana wilayah dan kota (PWK)?

Dengan pikiran sederhana, peran sarjana PWK adalah merencana, lalu siapa yang melaksanakan rencana? Pemerintah. Namun beberapa waktu lalu saya baca berita Menkeu mengatakan bahwa pemerintah tak punya cukup anggaran untuk bangun infrastruktur. Diharapkan partisipasi swasta dalam pembangunan infrastruktur (utama). Dengan kata lain dalam pembangunan kota dan wilayah, anggaran pemerintah juga terbatas.

Pada sisi lain saya melihat pembangunan newtown di wilayah Jabiodetabek, Surabaya, Makassar kian intensif. Para swasta justru kian mampu dan ekstensif membangun kota. Urban renewal pun banyak mereka lakukan, dengan menyulap kawasan "tak terencana" (atau terencana tapi tak terwujud) menjadi newtown in town, superblock, dst. Jadi, secara fisik sesungguhnya perencanaan kota bisa diwujudkan, bukan visi gambar semata. Sudah banyak kota diwujudkan sebagai implementasi rencana kota.

Seorang teman berkomentar, kalau untuk private bisa. Itu untuk masyarakat yang mampu beli rumah, kantor, belanja. Sementara tugas PWK adalah menyangkut publik, masyarakat kebanyakan yang kemampuannya terbatas. Lah, susah dong? Waktu belajar lingkungan visual dulu saya kok tidak belajar tentang indahnya "kampung kumuh"?

Tapi intinya ada pemahaman bersama bahwa PWK memposisikan diri di sisi publik. Tetapi apakah sikap dan peralatan keilmuan saya sebagai sarjana PWK begitu? Kalau dikaitkan dengan realita penyataan Menkeu bahwa negara tak punya anggaran untuk bangun infrastruktur utama. Lalu sebagai perencana kota saya mesti rekomendasikan apa? Gambar jaringan, hitung kebutuhan anggaran, terus sedih karena pasti pemerintah 5an daerah tak mampu melaksanakannya?

Pertanyaan berikutnya: perlukah keilmuan PWK juga masuk ke area implementasi, yang tentu (karena kata Menkeu pemerintah tak punya anggaran cukup) akan menyangkut partsipasi masyarakat dan swasta (kecil sd besar). Konsekuensinya "ilmu teknik" PWK ini akan "tercemari" dengan ilmu-ilmu sosial, kemasyarakatan (yang dulu tampak remeh), dan ilmu-ilmu keuangan, peran swasta (yang dulu nampak najis).

Sejenak membayangkan masa lalu, tahun 1959 kira-kira adalah era Marshal Plan, era rehabilitasi dunia pasca PD-II, dimana ada bantuan besar untuk membangun infrastruktur dan permukiman bagi dunia ketiga. Lalu dilanjutkan dengan era Orba, yang mana pemerintah punya anggaran tak terbatas (dari Bank, oil boom, dll) sehingga peran pemerintah dalam pembangunan infrastruktur dan permukiman untuk mewujudkan rencana PWK sangat besar. Tapi dengan pernyataan Menkeu di atas, era itu telah berlalu.

Renungan saya, kalau era pembangunan yang didukung dana Marshall Plan dan anggaran ditopang Oil Boom itu saja hasilnya adalah masih ribuan atau jutaan hektar "kawasan kumuh", lalu apa yang bisa diwujudkan perencanaan wilayah dan kota di era anggaran terbatas ini.

Nampaknya pilihan PWK mesti dipilih diantara dua Polar: merencana kota indah bersama Developer padat modal (sehingga ilmu desain kota bisa dipuaskan), atau terjun menjadi barefoot planner (sehingga merencana bersama kelompok tak mampu, sambil memberdayakan mereka, sehingga puas apa yang direncana bisa dilaksanakan). Tentu ada the third way, pilihan di tengah, merencana saja untuk instansi pusat atau daerah, lalu lupakan, atau berharap-harap.
Pilihan ketiga tersebut bisa positif kalau diikuti dengan advokasi, pengawalan rencana dengan perjuangan melengkapi aturan yang ada, memenangkan prioritas anggaran. Caranya bisa lobi antar instansi, mengerahkan demo, dst. Tapi apakah PWK itu sebuah gerakan? Ilmu tetaplah ilmu.

Tentu saja instrumen pelaksanaan rencana kota dan wilayah bukan cuma investasi pemerintah, ada instrumen police power (aturan, larangan), juga instrumen insentif/disinsentif. Tapi membuat larangan untuk pelanggaran massal PKL, rumah tumbuh spontan di tengah laut kemiskinan adalah seperti "menyapu daun kering dibawah pohon besar", pagi disapu, sore berserakan lagi. Kalau terlalu galak, aparatnya dikroyok. Kalau terjadi insiden, pejabat bisa dicopot. Jutaan massa miskin selalu siap mebanjiri kota.

Secara pribadi, saya tidak bisa mengusulkan solusi. Tapi karena tak ingin jadi korban "frustrasi" karena ketidak-berdayaan yang disebabkan oleh "ilmu merencana yang pelaksanaannya diluar pengetahuan". Maka ya saya pelajari public policy, pengembangan ekonomi lokal & regional, manajemen pelayanan publik dan urban management, perencanaan bersama masyarakat dan sejenisnya. Kalau toh rencana komprehensif (masterplan) sulit terwujud, setidaknya bisa kontribusi di pemberdayaan ekonomi masyarakatnya, di perbaikan manajemen pelayanannya, public policy dan regulasinya.

Kesimpulan pribadi saya, seperti kata orang "koordinasi itu mudah dikatakan, sulit diwujudkan". Mempelajari hal yang komprehensif, sinergis, multisektor, metadisiplin itu sulit. Lebih sulit lagi menperjuangkan, meyakinkan mayoritas orang yang sekolah dan kerjanya di sektor/ilmu tertentu. Ilmu komprehensif seperti "hollowgram", pada titik/moment yang tepat saja dia tampak, pada moment lain dia invisible. Dari pengalaman juga, kesimpulan saya orang lebih mudah menerima apa-apa yang focused, konkrit, visible. Lebih spesifik lagi, yang ada nomenklatur anggarannya. Sehingga wajar kalau pada kenyataannya planolog sendiri (yang ngaku komprehensif, multisektor) juga ambil spesialisasi (bias) sesuai tempat kerja dan pengalaman profesi masing-masing. Dan, wajar kalau di lapangan terbentuk ragam planolog yang berspesialisasi sesuai tempat kerja dan pengalamannya dalam interaksi aspek fisik, lingkungan, teknoilogi, ekonomi, kemasyarakatan, manajemen, kebijakan publik, dst.

Tapi mungkin inilah profesi yang berkaitan dengan area publik. Seperti visi daerah, "gemah ripah repeh rapih" (baldatun toyyibatun wa robbun ghofur). Niat memakmurkan dan melestarikan semua secara komprehensif. Tapi kadang saya berpikir, bisa menanam satu pohon, memberi makan satu orang lapar, sementara cukup, asal dilakukan secara berkelanjutan. Paling tidak untuk melegakan diri bahwa dengan PWK saya bisa berbuat sesuatu untuk warga kota dan wilayah.[Risfan Munir]