Sunday, December 26, 2010

Kompetensi Perencana Wilayah dan Kota

Pada awal topik ini rekan BSP dan Ibnu Taufan menanggapi bahwa Planolog bisa "masuk" ke berbagai bidang karena kompetensinya dalam kajian n "perencanaan pengembangan" yang "komprehensif n multisektor". Saya termasuk yang setuju dalam hal ini. Mengapa?

Kalau saya perhatikan, alami, memang "ciri pandangan" Planolog umumnya adalah multi-perspektif. Pertimbangan Sosial-Ekonomi-Teknologi-Ekologi-Policy (SETEP) digunakan sekaligus dalam analisisnya. Jarang sekali profesi lain yang punya kebiasaan multi-perspektif seperti ini. Naluri dasar Sipil di engineeringnya, naluri Arsitek di desain mikronya, Naluri para Ekolog kebanyakan ekologi berbasis biologi, kimia (mikro system).

Kalau saya flashback ke masa kuliah, yang paling sulit dari belajar Planologi/PWK bukanlah land-suitability analysis, kuantitatif. Tapi yang bikin banyak mahasiswa "senewen" adalah memahami interaksi pertimbangan SETEP di atas. Umumnya mahasiswa frustrasi, merasa ngambang karena membiasakan berpikir multi-perspektif ini. Kadang merasa frustrasi karena seperti "ilmu berkelit" saja, argumen teknologi dipatahkan pertimbangan ekonomi, diserang dari sisi sosial/demografi merespons dengan ekologi, dst. Tapi, setelah mengalami dan dari pekerjaan/karier, kesuksesan teman-teman, maka saya yakin yang dulu sebagai "kesulitan terbesar" itu, saya pikir justru itu "core competence" dari Planolog.

Apa bedanya dengan studi pembangunan yang juga komprehensif? Menurut saya bedanya terletak pada kata "perencanaan pengembangan". Studi pembangunan adalah "studi", mereka komprehensif dalam analisis, tapi kurang di "perencanaan, rekomendasi". Kalau kita perhatikan dalam berbagai kasus, analisis mereka panjang, lalu Kesimpulan, tapi Rekomendasi atau Rencana Tindakan nya terbatas sekali. Mereka kuat di analisis, tapi memang tidak dididik khusus untuk "merencana".

Pada waktu sekolah (S1), Planolog di didik untuk akhirnya bermuara ke studio Site Planning, Urban Planning, Regional (n Rural) Planning, Infrastructure (Transport) Planning. Ini adalah pengelompokan berbasis luas area, menurut saya bukan batasan bidang terbatas "Tata Ruang". Menurut saya Tata Ruang adalah salah satu bidang dari Planning/Planolog, karena Pengembangan Kota, Wilayah tetaplah bidang yang multi-perspektif dan multi-product.

Tata Ruang itu satu produk, dan entry point untuk memasuki dunia Perencanaan Wilayah dan Kota yang luas. Ada yang menyanggah, "kalau bukan tata-ruang, lalu apa?" Jawab saya: datanglah ke Ditjen Cipta Karya, Ditjen Bangda, atau ke Kementerian Perumahan (n Permukiman). Akan tampak jelas disana ada judul-judul Pengembangan Kota, Pengembangan Wilayah, Pengembangan Perumahan, Pengembanga Program, Dir Perencanaan - yang "sangat Planologi, sangat PWK", tapi tidak hanya bidang tata-ruang.

Kesimpulannya, bidang kerja Planolog/PWK masih begitu luas, banyak bidang, irisan-irisan bidang yang perlu diterjuni. Yang penting ialah "entry-point" supaya Planolog diterima masuk ke situ. Tata Ruang adalah salah satu entry-point strategis, karena dalam memasuki dunia profesi atau pemikiran kalau tanpa pijakan bidang teknis yang mantap bisa terombang-ambing. Dan, orang lain mengenal kita dari situ, walau tidak terbatas, atau membatasi profesi pada tata ruang semata.

(Bagaimana pun, daya tampungnya terbatas dibanding lulusan sekolah Planologi/PWK yang banyak jumlahnya)

Malcolm Goldwell, psikolog dari MIT, pencetus "multiple intelligence", dalam bukunya tentang "5 kecerdasan (yang dibutuhkan) masa depan", menyebut salah satunya ialah "kecerdasan multi-disiplin". Ini adalah milik Planolog, yang dulu dipelajari dengan susah payah

Kembali kapada respons rekan BSP, Ibnu Taufan di atas, dari segi pengembangan profesi, menurut saya Planolog harus seperti sarjana Teknik Industri. Ilmu yang di ITB munculnya belakangan ini, secara agresif dosen dan alumninya memainkannya beyond "ilmu asli"nya. Origin TI setahu saya terkait dengan sistem produksi (cabang ilmu Mesin), tentang lay-out (tata letak) peralatan pabrik, time-motion studies, OR (kita ADK), ekonomi teknik (produksi). Tapi oleh pelakunya (dosen, alumni) bidang profesinya diperluas ke bidang manajemen yang luas, hingga ke manajemen proyek, manajemen operasi (semua industri jasa, termasuk perbankan dan pemerintahan). Dengan cara pandang bahwa operation research (OR), manajemen, ekonomi-teknik bisa "dimainkan" secara luas, secara profesi TI mencakup bidang yang luas, dan diakui di perbankan, manajemen pembangunan/ pemerintahan, dst.

Menurut saya, dari segi sebaran alumni, profesi Planologi juga telah mengantarkan alumni atau profesionalnya menjelajahi bidang yang sangat luas. Banyak Planolog yang menempati posisi Eselon 1 pemerintahan selain di Tata Ruang seperti di Bappenas, Kem PDT, Kemenko Kesra, Kemenko Perekonomian, Kemdagri, KLH, BP Daerah Perbatasan, Kemenperkim, KemBudPar, KemDag, KemKUKM, dst. Posisi puncak di Provinsi,kabupaten, kota. Sebagai direktor beberapa perusahaan properti, di lembaga/program berbagai donor. Posisi di swasta pada berbagai jalur bisnis. Mereka berhasil menjelajah karier ke berbagai bidang kerja itu, antara lain karena kesiapannya dalam pemikiran "multi-perpektif" dan "preskriptis" (solusi, saran, rencana).

Banyak sekali yang sukses. Hanya saja, terus terang dalam hati kecil, yang saya juga rasakan, ada obsesi ingin bekerja sebagai orang teknik, seperti "kapan aku kerja sebagai insinyur". Psikologis ini sering membuat kita kurang bangga dengan profesi di pekerjaan yang kita geluti. Kadang ada perasaan telah, keluar jalur, keluar dari profesi. Ini mungkin perasaan yang kita ciptakan sendiri dalam pikran. Seperti anekdot Jenderal berbintang 4, yang pulang kampung, oleh ibunya dia ditanya,"Nak, kapan kamu jadi Sersan?"

Lihatlah di sekitar kita, banyak Arsitek, Ir Sipil, TI, Geografer, Ekonom, dst yang mau jadi perencana wilayah dan kota. Dengan menyadari hal ini saya sendiri bisa obsesi jadi ahli yang "teknikal dan terfokus", karena memang umumnya di bidang apapun, setelah 5 tahun kerja disitu, seseorang akan mulai dituntut untuk bisa berpikir multi-perpektif.

Dalam hati kecil saya juga ingin seperti "Arsitek rumah tinggal" yang kerjanya "gambar, hitung, dapat anggaran" lalu jadilah rumah yang membanggakan kita. Tapi Planologi/PWK memang bidang Publik, yang harus melalui proses dan efektivitas manajemen publik (dan politik tentunya). Maka, Planolog harus berprofesi dengan sabar seperti ahli transportasi yang menyaksikan kemacetan tak segera tertangani secara komprehensif; seperti ahli keuangan yang melihat kebocoran menerus; ribuan ekonom yang bergelut dengan angka ekspor yg sulit naik; ribuan sosiolog dengan kemiskinan yang sulit turun; seperti ribuan ahli hukum yang menyaksikan korupsi dan kejahatan kerah putih merajalela, dst. Tidak bisa ngomel, karena masalah pengangguran dan kemiskinan perkotaan, shg slum area, PKL, rumah jadi toko akan ada terus; ketertinggalan perdesaan, eksploitasi lingkungan; konflik peruntukan lahan (antar individu, sektor, daerah); rusaknya prasarana karena anggaran tak cukup, backlog rumah, air bersih, etc; pertarungan antar sektor/urusan berebut anggaran - itu semua akan terjadi sepanjang umur dunia. Itulah situasi pekerjaan Planolog sebagai perencana di area publik. So, seperti arsitek publik, ahli transportasi, ekonom, sosiolog, lawyers hadapi area publik apa adanya.

Dengan pemahaman diatas, maka karya, produk, hasil kerja Planolog sebagian besar akan berupa: domumen rencana, policy paper, draft-draft peraturan, pedoman-pedoman, saran-saran solusi, feasibility studies, dst, baik disusun Planolog sendiri, maupun bersama profesi terkait.

Mengenai perluasan wilayah kerja Planolog. Apapun istilahnya memang mesti dilakukan "marketing", kalau mau survive dengan puluhan PT (anggota ASPI) yang menyelenggarakan Prodi PWK. Dulu pendahulu kita melebarkan sayap dari PU ke Kemdagri, Bappenas, ke daerah-daerah, dst. Sebagian adalah mengikuti Planolog yang pejabat senior yang di tempatkan di suatu instansi. Ini bisa jadi salah satu strategi perluasan langan kerja. Atau, Planolog yang atas usahanya, kawannya, famiinya masuk ke bidang ttt seperti realestate, appraiser, bisa juga jadi sarana "promosi" bahwa (ternyata ilmu PWK) efektif diterapkan disitu.

Tapi, tentu perlu juga strategi "marketing", langsung mempromosikan ilmu, teknik dan karya-karyanya untuk memasuki wilayah-wilayah kerja baru (frontier).

Caranya, antara lain sejak mahasiswa perliu banyak mengadakan diskusi, debat, menulis tentang PWK dikaitkan dengan isu aktual, dengan bidang-bidang tertentu. Misalnya: green, climate change, konflik pertanahan, pengembangan perbatasan, daerah tertinggal, maritim, liveable city, kemacetan, sampah, krisis air, lingkungan perumahan yang nyaman, konflik "hutan - tambang - daerah", metropolitan dev, KEK, pelabuhan dan wilayah, newtown development, superblok, pemberdayaan ekonomi lokal, peran Planner sebagai fasilitator pendamping pemberdayaan masyarakat, dst. Peran PWK dalam pengurangan kemiskinan, dalam mendorong ekspor daerah, dalam meningkatkan devisa pariwisata dan klaster UKM, dsb. Dengan begitu makin banyak dunia yang tahu kontribusi multi-perspektif dari PWK.

Sekali lagi, setuju dengan rekan BSP dan Ibnu, kian hari dengan kompleksitas masalah pembangunan wilayah, kota, desa, prasarana, bisnis umumnya - profesi yang core competence nya "multi-perspektif" dan preskriptif (solusi, rencana) ini akan selaludan kian dibutuhkan kontribusinya. Semoga.