Saturday, May 14, 2011

Kerjasama Antar Daerah

Kerjasama Antar Daerah dalam Pengembangan Wilayah rupanya sudah menjadi agenda baru. Mungkin ini antitesis dari trend pemekaran (pemecahan) daerah. "Metropolitan" karena merupakan bentuk kerjasama. Saya baca Prof. Dr. Tommy Firman, guru besar Perencanaan Wilayah dan Kota ITB juga menulis di jurnal ttg KAD metropolitan Jabodetabek, juga Kertomantul. Beberapa teman alumni German malah S2 nya pd Progam KAD (rupanya sdh jadi prodi).

Seperti pacaran, atau pertetanggaan, sebab awalnya bisa macam2, inisiatornya juga macam2. Tapi "nyambung" kah antar hati, antar kebutuhan. Adakah kepentingan bersama, atau kepentingan komplementer, supply-chain antar pihak yang mau bekerjasama. Adakah kemesraan historis, atau sebaliknya dendam kesumat di antaranya?

Kata "governance" dalam Metropolitan Governance tentu krn menyangkut tidak hanya Pemda, tapi juga Nasional/pusat, unsur swasta, swadaya masyarakat, ormas, orpol, individu, dari dalam daerah, dari daerah lain, dari nasional, dst. Karena itu selalu "multi-kepentingan". Bukan jamannya lagi menilai policy, inisiatif berdasarkan siapa inisiatornya. Ukuran efektivitasnya mungkin lbh pada "ada saling menguntungkan" antar daerah atau tidak.

Kalau kerjasama itu karena jaringan prasarana regional, atau alam (DAS), juga tidak apa toh. Karena ada ikatan masalah bersama, mengatasi masalah transportasi, atau kerjasama komplementer hulu (konservasi), hilir (memanfaatkan), bagaimana kompensasi bagi yang konservasi, perlu dibahas dalam kerjasama. Juga kerjasama soal angkutan umum, sanitasi, persampahan, air bersih.

"Cinta" dalam KAD mungkin tak harus "suci dan murni", namanya antar kepentingan, yang penting masing-masing merasa ada timbal balik.

Kembali ke inisiator, sebetulnya "dijodohkan" juga tak apa,asal kepentingan "antar dan masing2 daerah" yang jadi sasaran, bukan kepentingan "mak jomblang" yang ditonjolkan, kepentingan tiap daerah justru dikesampingkan.

Yang sulit kalau saya amati ialah "keterbukaan" dan "tak ada dusta antara daerah". Ini menyangkut Pemda yg banyak aturannya (dihujani aturan pusat), ewuh-pekewuh soal menyatakan "take n give" (apalagi soal materi) antar daerah. Tidak berani, atau tidak bisa menghitung brp/apa cost, brp/apa benefit masing2 membuat mereka "diam2, menunda" pelaksanaan kerjasama. Ini beda dgn swasta yang krn bisnis lbh mudah pasang "tuntutan dan kontribusi".

Penutup, KAD ini merupakan kajian yang perlu dikembangkan dan dikaji dari berbagai pengalaman sukses/gagal yang ada. Saya setuju dengan pak BSP, spt dalam manajemen umumnya, kerjasama antar SKPD sejenis dengan topik konkrit soal manajemen persampahan, SDA, dst, step-by-step akan lebih efektif, mengingat aktor yang mulai kerjasama biasanya satu profesi, satu bahasa. Daripada mendadak kerjasama multi-sektor antar daerah; karena tidak
konkrit maka topik politis mudah masuk. Antar planner, sanitary engineer, insinyur sipil Kota Abece dgn Kab. Abece bisa lebih mudah kerjasama, daripada KDH-nyan karena hasil pemekaran biasanya menyimpan "ganjalan tertentu."

Juga, mak-comblang ya jadi jomblang saja tak haris tampil sebagai "lembaga
koordinasi" yang menyaingi mereka yang "berpacaran". [Risfan Munir, perencana pengembangan wilayah dan kota]

Sunday, May 8, 2011

Pengembangan Wilayah, Geografi Ekonomi, dan Kepemerintahan

Dari diskusi beberapa topik, termasuk soal Batam dst, saya semkin yakin bahwa struktur dan perimbangan pengembangan wilayah atau pembangunan daerah secara nasional saat ini lebih ditentukan oleh aspek kelembagaan.

Dulu dalam kajian NUDS ada skenario melihat masa depan dari dua faktor: (1)laju transformasi kegiatan ekonomi dari pertanian - manufaktur -jasa; (2) laju desentralisasi pemerintahan.

Yang terjadi, kayaknya skenario: laju transformasi ekonomi melambat (malah mungkin deindustrialisasi); sementara desentralisasi dipercepat (hanya kesiapan daerah diluar dugaan).

Tampaknya juga agak sulit diharapkan adanya pembangunan infrastruktur yang signifikan/dramatis di daerah. Pembangunan koridor2 ekonomi terbatas menguatkan pola yang sudah ada wilayah barat.

Ke depan nampaknya tantangan pengembangan wilayah nasional akan banyak menyangkut "kepemerintahan". Bagaimana arah pembangunan daerah oleh Pemda-pemda. Bagaimana kerjasama antar daerah membentuk keunggulan ekonomi? dst.

Yang saya tidak tahu apakah pemerintah nasional masih punya anggaran untuk investasi besar di pusat2 pertumbuhan di daerah, dan apakah justified di era otonomi ini? Karena masih banyak anggaran dibutuhkan untuk skala nasional, untuk mengatasi kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan subsidi BBM dll.

Kalau memang masalah capacity building "kepemerintahan" ini yg dianggap kunci mengatasi regional inequality (misi utama regional planning), apa yang mesti dilakukan? (Risfan Munir, penggiat pengembangan ekonomi lokal)


Powered by Telkomsel BlackBerry®

Sunday, May 1, 2011

Besaran Anggaran Perencanaan Spasial

Soal keluh kesah menurut saya kalau memang itu masalah, oke-ke saja untuk dibicarakan. Kayaknya IAP juga merespons hal tersebut. Pada acara Ultah kemarin disebar angket soal "pekerjaan n imbalan". Mudah-mudahan ada tindak lanjut.

Tapi perlu juga disadari plafon APBN, APBD untuk suatu urusan, kegiatan juga ada batas plafon-nya.
Asumsi sd 60-65% untuk rutin/aparatur; 20% urusan pendidikan; 5-10% kesehatan. So, sekitar 15% diperebutkan banyak urusan/sektor. Yang fisik (sarpras), pengadaan, biasanya makan banyak. Untuk perencanaan juga ada macam2 disamping untuk RTRW.

Sehingga nominalnya bisa dihitung. Kalau untuk tingkat nasional bisa ditanya pengurus yang kerja disitu rata2 budget tahunan dapat berapa?
Secara keseluruhan bisa tahu: BELANJA NEGARA tiap tahun untuk (penataan ruang) itu berapa.

Lalu, dari sisi kebutuhan Penyusunan Rencana: bagaimana komposisinya?
Berapa % untuk pengadaan peta, survey (transpor, akomodasi, tenaga lapangan), dst. Berapa biaya overhead bagi "perusahaan". Berapa untuk konsultasi, persetujuan "PERDA". Sehingga tahu "Berapa % anggaran untuk Perencana?"
Dengan mengalikannya dengan unit cost (sesuai daerah) untuk nilai wajar biaya Penyusunan Rencana.

Dengan begitu, secara nasional IAP atau anggota bisa menghitung berapa unit RTRW (atau revisi) bisa dibuat. Berapa jumlah Planner dengan gaji wajar (sesuai unit cost) bisa diserap?

Bagaimana kalau ternyata terjadi over-supply tenaga Perencana?
Bisa disimulasi supply perencana nambah (brp?), maka gaji turun jadi berapa?
>> How low can you go?
>> Apakah alokasi anggaran bisa dinaikkan? Siapa yang mesti berjuang? Kemana? (Bowheer juga tak kuasa dalam keputusan besar anggaran ini)--
Sekedar sumbang saran, Risfan Munir, anggota.



Powered by Telkomsel BlackBerry®

Anggaran Perencanaan Fisik

Powered by Telkomsel BlackBerry®