Thursday, June 30, 2011

Kota, Kebijakan Perumahan bagi orang Miskin

Apakah kebijakan perumahan sudah pro-poor?
Proses (politik) kebijakan pembangunan perumahan bagi orang miskin, saya merupakan contoh percaturan kebijakan dalam pembangunan kota.

Defisit (backlog) rumah dari 8,1 juta menjadi 13,6 juta, artinya sejumlah itu keluarga yang tak berumah. Mereka mungkin numpang di rumah famili, atau di rumah darurat. Implikasi lain, ada pertambahan lingkungan kumuh di perkotaan.

Sementara target resmi pembangunan rumah Kemenpera 2011-2014 hanya 1 juta unit. (Bisnis Indonesia, 30/6/2011)

Pertanyaannya: yang menutup kekurangan 12,6 juta rumah siapa? Apakah memang itu tanggung-jawab Pemerintah semua?
Lalu, 1 juta rumah yang dibangun Pemerintah itu untuk siapa? untuk masyarakat miskin? Pemerintah (Kemenpera) membangun atau memfasilitasi saja? Dst.

Berbagai pilihan kebijakan, kritik dan saran disampaikan, a.l.:
- prioritaskan masyarakat miskin; karena contohnya Rusunami, hanya 20% tepat sasaran, selebihnya untuk lapisan lebih tinggi, karena harga terlalu mahal (kata Adrianof Chaniago dari UI)
- libatkan peran penbgembang besar - pengembang superblok harus membangun rusunami. Agar skema 1:3:6 untuk pembangunan diterapkan lagi (Ali tranghanda dari Indonesia Property Watch/IPW)
- Pemerintah sebaiknya menguatkan kelembagaan penyelenggaraan pembangunan perumahan rakyat. Pemerintah perlu duduk bersama dengan para stakeholders, baik di pusat atau daerah, guna memfokuskan koordinasi dengan pemerintah daerah (kata Zulfi Syarif Koto dari "housing n urban development (HUD)" institute;

Sementara itu Menpera sehubungan pesatnya pertumbuhan perkotaan saat ini mengatakan diperlukannya "perubahan paradigma dan preferensi masyarakat dari tapak ke hunian vertikal".

Menanggapi backlog jumlah rumah, Menpera mengharapkan peran pemerintah daerah dan para pemangku kepentingan dalam pembangunan "perumahan swadaya" agar layak huni.

Dari membaca beberapa pernyataan para analis dari lembaga independen dan Menpera ada beberapa pemikiran yang bisa dipadukan untuk memperbaiki kebijakan pembangunan perumahan rakyat.

Tapi pernyataan2 tersebut belum lengkap, karena belum menangkap aspirasi dari "masyarakat yang belum punya rumah", legislatif, pihak pembangun/ pengembang perumahan, lembaga keuangan, atau pemerintah daerah, dan lainnya.

Berita ini sendiri dimuat di koran para pelaku usaha, sehingga coraknya masih dari sudut pandang bisnis.

Percaturan ini tak mengungkap adanya unsur pro/contra seperti umumnya "debat kebijakan publik". (Risfan Munir)


Powered by Telkomsel BlackBerry®

Wednesday, June 29, 2011

Kota dan Pertarungan Kebijakan Publik

Pendekatan penyusunan dan implementasi kebijakan pada masa Orde Reformasi ini secara konsep mengandalkan "konsensus stakeholders & dukungan publik". Ini berbeda dengan pendekatan di masa Orba yang lebih mengandalkan "otoritas institusi pemerintah ybs" dan "dukungan aparat keamanan".

Oleh karena itu, saat ini proses perencanaan selain melalui tahap teknokratis (Planner menyusun Rencana, design), juga mesti melalui serangkaian "penjaringan aspirasi masyarakat", konsultasi publik, juga melalui proses politik a.l. persetujuan legislatif dan instansi atau pihak terkait.

Saya jadi mengerti mengapa sekarang media massa (TV, radio, koran majalah) menjadi ajang "pertarungan" dalam memenangkan "opini publik". Karena "opini" inilah yang jadi "legitimasi" dan yang menjadi alasan (sebagian) atas "dukungan legislatif".

Media bisa menentukan suatu perkara/
masalah menjadi "isu" yang layak diperjuangkan legislatif, politisi, atau tidak. Oleh karena itu, media massa akhirnya menjadi semacam media "pertarungan membentuk opini publik".

Contoh aktual a.l. proses penyepakatan dan pengesyahan RTRW DKI Jakarta 2010-2030 yang memerlukan waktu berbulan-bulan untuk penyepakatan dan pengesyahan Draft Final nya. Banyak sektor, ormas, orpol, koalisi, profesional yang menyampaikan opininya di media massa.

Masalahnya, cukup ditanggapi atau diakomodir kah opini berbagai pihak itu dalam Rencana atau RTRW 2030 tsb? Inilah tantangan Merencana kota/ wilayah masa kini, baik rencana tata ruang, perumahan, prasarana, transportasi dan lainnya. (Risfan Munir)



Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tuesday, June 28, 2011

Kota dan Proses (politik) Perumusan Rencana

Baik dalam skala nasional, wilayah, kota, lingkungan ada Proses (politik) Perumusan Kebijakan Publik.

Kebijakan publik dirumuskan sebagai "setiap yang dibuat oleh suatu sistem politik , dan untuk itu sistem tsb menghimpun dan mengerahkan sumber daya publik ybs" (Wibawa, 2011)*.

Dengan demikian perumusan rencana kota, tata ruang, rencana perumahan, CBD, rencana pembangunan prasarana, transportasi, pariwisata, dst termasuk "proses (politik) perumusan kebijakan".

Proses ini bisa "elitis" (diputuskan oleh penguasa, instansi ttt saja), bisa "pluralis" (melibatkan berbagai kelompok kepentingan). Sistem di masa Orba umumnya elitis, otokratis. Sebagai antitesisnya di masa ORef (orde reformasi) dituntut untuk lebih partisipatif dan demokratis dalam perumusan rencana atau kebijakan publik.(Risfan Munir)

*(Bacaan yg disarankan - Dr. Samodra Wibawa, 2011, "Politik Perumusan Kebijakan Publik". Graha Ilmu. Yogya)




Powered by Telkomsel BlackBerry®

Perencanaan Kota dan Kebijakan Publik

Membaca nama prodi SAPPK/ITB, saya masih berusaha memahami. Sekolah Arsitek, Perencanaan, Pengembangan Kebijakan. Kata Perencanaan, tentunya PWK. Persinggungannya dengan Arsitek umumnya planner tahu. Tapi bagaimana persinggungan dengan "pengembangan kebijakan"?

Nampaknya PWK memang tak bisa dipisahkan dengan "pengembangan kebijakan (publik)". Dan, proses kebijakan publik ini telah berubah, dari pola Orba, yang mana pemerintah yang menetapkan kebijakan pembangunan kota/wilayah, sementara masyarakat (harus) menerima saja.

Tapi era reformasi ini, suka tak suka, melibatkan stakeholders, kelompok2 kepentingan dalam proses pengambilan keputusan atas "bentuk/isi rencana."

Tentu saja proses demokrasi juga tak selalu sempurna. Kelompok kepentingan ada yang kuat, ada yang lemah. Ada elit kota yang kuat. Ada mayoritas warga kota, yang walau kepentingannya tinggi, tapi posisi dalam ikut bersuara sedikit, karena ketidak-mampuan, kurang informasi, bisa juga karena "kesempatan bersuaranya dihalangi."

Begitulah yang sementara ini saya baca dari tulisan2 para pengkaji kebijakan publik. (Risfan Munir)


Powered by Telkomsel BlackBerry®

Sunday, June 26, 2011

Kota dan Sejarah

Gunawan Mohamad menulis Catatan Pinggir berjudul "Kota" (Tempo, 26/6/11) dalam Caping ini di melihat Kota juga sebagai saksi sejarah. Yang juga merekam betapa penguasa dan warga juga mencoba "melupakan sejarah."

Pada masanya Jakarta sebatas Weltevreden, kawasan bagi "kemapanan". Namun sejarah telah membuat kawasan itu hanya kenangan di peta kusam sepia.

Sebagian warga mengenal kejayaan kawasan Kebayoran Baru sebagai kawasan perumahan asri bagi kalangan atas. Sekarang hampir semua jalan besarnya jadi jalan hiruk-pikuk, rumah-rumah yang bak visualisasi mimpi itu kini telah banyak berubah jadi resto, spa, minimart, poliklinik, dengan warung2 tenda di sekitarnya.

Mungkin betul, kota memang potret perkembangan masyarakat yang dinamis, menggeliat terus. Entah dinilai positif atau sebaliknya, tapi setiap geliat itu memang seperti punya alasan masing2. Mungkinkah kembali kepada kondisi semula? (Risfan Munir)



Powered by Telkomsel BlackBerry®

Friday, June 24, 2011

Kota, Urbanisasi, dan Pemberdayaan

Permasalahan kota, baik dilihat dari aspek spatial, fisik, dan pembangunan umumnya, akan terkait dengan aglomerasi kegiatan ekonomi; arus migrasi dan urbanisasi (ke kota dan mengkota). Dan, aspek penataan, pengembangan, yang mau tak mau buuh "pemberdayaan" masyarakatnya juga.

Landskap kota terdiri dari blok-blok perumahan teratur kelas atas, perumahan kelas menengah, kampung2 padat, dan lingkungan kumuh. Pada kegiatan ekonomi dan sosialnya, ada CBD (mal, hotel mewah), perkantoran, deretan ruko2 sepanjang jalan utama, minimarts, micromarts, kiosks, dan tendae, dan PKL.

Semua tak terlepas dari proses pembangunan nasional, yang melahirkan migrasi desa-kota. Ada yang kekota bawa ilmu dan uang; ada yang "bondo nekat" karena keterpaksaan dan asal bisa cari peluang apapun, numpang dimanapun. Wal hasil, itulah itulah lanskap kota-kota kita, dan mungkin umumnya Dunia Ketiga.

Kenyataannya, pada level perencanaan kota dan wilayah, harus diterima. Oleh karena meniadakan fakta tidak bisa, maka perlu "pendekatan appropriate" untuk menghadapinya. Yaitu, antara lain, dengan "pemberdayaan". Membangun bersama masyarakat.(Risfan Munir)


Powered by Telkomsel BlackBerry®