Sunday, July 17, 2011

PWK: 3 steps, 3 concerns, 3 actors (2)

Kubus 27 aspek, dalam buku land-use plan aslinya matriks "concerns x
actors = 9 aspects"; karena dalam UUPR ada 3 steps (perencanaan, pemanfaatan,
pengendalian). Jadi untuk mengingatkan/memicu pikiran kita saya gabung menjadi:
3x3x3 = 27 aspek.

Dibuat simple sebagai pengingat-ingat, dalam aspek apa kita bicara, dan aspek
apa yang belum kita garap.

Dari literatur begitulah aspek policy dari land-use. Tentu saja aspek
teknis (ukuran-ukuran) yang Anda garap dengan teman2 harus
dikembangkan/dipertajam terus. Tapi buku land-use dan pemgamatan juga
mengingatkan jangan lupa ada aspek pemanfaatan, pengendalian; ada actors dan
concerns nya yang perlu dipertimbangkan.

Soal komprehensif, a.l. Berke menyebut bahwa potensi konflik antar concern
(economic vs equity vs environment) memang selalu terjadi, dan ini terkait
dengan kepentingan antar aktor pula. Proses perencanaan, pemanfaatan,
pengendalian idealnya merupakan proses menuju equilibrium, menuju posisi
"liveable" yg lebih baik.

Konflik tambang vs hutan (Kalimantan), hutan vs kebun (Sumatera); tambang vs
sumber air penduduk (Blora); dan mal vs konservasi (Jateng vs Solo), realestat
vs pelestarian pantai (Pantura Jakarta); mal vs RTH (banyak kota) dll, adalah
kasus riil yang terbukti menghambat pengesyahan rencana, tentu soal pemanfaatan
dan pengendalian juga. (Risfan Munir, perencana pembangunan wilayah dan kota)

Saturday, July 16, 2011

Pengembangan Wilayah/Kota - 3 Steps, 3 Concerns, 3 Actors

Dari pengamatan, pengalaman dan perenungan, kayaknya kunci keberhasilan pengembangan wilayah dan kota ditentukan oleh keberhasilan menggarap: "3 Steps, 3 concerns, 3 actors"

3 Steps: perencanaan, pemanfaatan, pengendalian
3 Concerns: fisik, sosial, ekonomi (Economic, Equity, Sustainability)
3 Actors: Pemerintah, Society, Swasta.

Sehingga ada 3x3x3=27 aspects; kalau kita, katakanlah hanya bermain di step Perencanaan, concern Fisik, aktor Pemerintah. Berarti hanya menggarap 3 dari 27 aspect, maka maksimum keberhasilan memajukan kota/wilayah, hanya 11.11 % saja. Dengan asumsi tiap aspek nilainya setara. Sehingga perlu didorong penggarapan 24 aspek lainnya agar sejalan.(Risfan Munir).


Powered by Telkomsel BlackBerry®

Pengembangan Wilayah/kota - 3 Steps, 3 Concerns, 3 Actors

Dari pengamatan, pengalaman dan perenungan, kayaknya kunci keberhasilan pengembangan wilayah dan kota ditentukan oleh keberhasilan menggarap: "3 Steps, 3 concerns, 3 actors"

3 Steps: perencanaan, pemanfaatan, pengendalian
3 Concerns: fisik, sosial, ekonomi (Economic, Equity, Sustainability)
3 Actors: Pemerintah, Society, Swasta.

Sehingga ada 3x3x3=27 aspects; kalau kita, katakanlah hanya bermain di step Perencanaan, concern Fisik, aktor Pemerintah. Berarti hanya menggarap 3 dari 27 aspect, maka maksimum keberhasilan memajukan kota/wilayah, hanya 11.11 % saja. Dengan asumsi tiap aspek nilainya setara. Sehingga perlu didorong penggarapan 24 aspek lainnya agar sejalan.(Risfan Munir).


Powered by Telkomsel BlackBerry®

Thursday, July 7, 2011

Percaturan Kebijakan Pengembangan Wilayah Nasional

Tulisan ini merupakan upaya saya memahami "masa panca-roba" ini dari kacamata "kebijakan publik (KP)" (public policy).

PERTAMA - Dari kacamata KP, masa Orde Reformasi ini memang beda dengan Orba. Dulu perencanaan kota, wilayah, tata ruang - relatif bisa diputuskan sebagai peraturan oleh pemerintah, dengan persetujuan dewan yang relatif "mitra pemerintah", serta para pakar (elit) yang diundang kontribusi. Begitu solidnya kekuasaan hingga sepertinya untuk meng-goal-kan rencananya, satu departemen tak harus banyak berembuk dengan departemen lain, yang penting "big-bos" sudah setuju. Alat-alat negara, bahkan TNI/Polri akan ikut mengawal kebijakan (ekstremnya dalam pembebasan lahan).

Alumni Planologi pertama bekerja mulai sekitar tahun 1965, sehingga praktis proses KP yang kita kenal adalah model seperti itu. Istilah KP-nya otoritarian/elitis. Baik proses penyusunan Masterplan, RIK, RSTRP, dan berbagai variannya hingga yang skala nasional (konsep pengembangan wilayah, NUDS, SNPPTR) prosesnya seperti itu.

Memasuki era Reformasi, dengan Desentralisasi dan Demokratisasi, proses KP dirubah, lebih demokratis, melibatkan konsultasi publik, proses partisipasi, dan proses politik. Ini sesungguhnya perubahan drastis. Akibatnya, ada pertarungan kepentingan yang terbuka, bukan saja antara kepentingan politik para anggota dewan dan antar kelompok masyarakat. Tetapi ternyata "antar instansi pemerintah" juga konfliknya menjadi terbuka (banyak RTRW alot persetujuannya karena konflik ini). Dalam proses KP, Proses Perencanaan yang kita kenal dulu, hanya ditempatkan sebagai "Proses Teknokratis". D.p.l. kerja planner model lama baru
mencapai "tahap teknokratis" itu, dan ada proses partisipatif (setidaknya konsultasi publik), proses politis, agar "produk rencana" menjadi produk "kebijakan publik". (tulisannya pak BSP banyak menyinggung soal ini)

KEDUA - Aplikasi ilmu PWK, kalau saya amati dari sudut KP, memang ada dua jalur Pak Eka. Ada yang berusaha tetap "murni/netral" ada yang tematis. Di kantor Anda, PWK diartikan sebagai Penataan Ruang, dan dicoba dibawakan secara netral, komprehensif. RTRW (dari kota/kabupaten, provinsi, nasional), adalah satu bentuk penataan ruang yang netral (komprehensif?). Saya tidak tahu apakah ini yg Anda aksud dengan "engineering untuk engineering". Walaupun area-nya berbasis "wilayah administratif" ya, tidak seperti ilmu PWK yang berbasis wilayah fungsional.

Di instansi/sektor lain ilmu PWK diterapkan dengan tema tertentu, misalnya: pembangunan daerah tertinggal, pembangunan regional dan daerah, pembangunan koridor ekonomi, kawasan industri, pengembangan sentra produksi, pengambangan kawasan terpadu mandiri, pengembangan pesisir dan pulau2 kecil, pembangunan perumahan dan permukiman, dst.

Mengingat bahwa sekarang semua perlu melewati proses untuk bisa diputuskan sebagai "kebijakan publik", maka tema-tema ini menjadi "penentu", karena publik, politikus, pengambil keputusan, menimbang berdasarkan "nilai strategis" di mata masyarakat. Publik akan lbh mudah tergerak, beropini, lalu politikus kemudian memasukkannya sbg prioritas "Agenda Kebijakan", kalau itu sound. Oleh kerana itu, Pengentasan kemiskinan, pembangunan daerah tertinggal, konflik peruntukan lahan, sepertinya lebih mengundang opini.

Kalau kita ingat "Konsep Pengembangan Wilayah" Pak Pornomosidhi HS, sesungguhnya juga tidak netral, tapi bias ke "jalan raya", pengembangan wilayah disoroti dari sisi "kol-dip" (koleksi, distribusi), bahasa lainnya "transportasi dan logistik wilayah". Selanjutnya diperluas dengan "pengembangan permukiman transmigrasi". Di sisi lain, sepertinya juga kurang memasukkan sistem wilayah/daerah aliran sungai.

Pak Eka, pemahaman saya sementara ini kok begitu. Sehingga dari kacamata "kebijakan publik" itu, memang perlu selalu kolaborasi, sinergi, atau juga saling koreksi, antara yang "mengawal kaidah penataan ruang", dengan instansi2 yang menerapkan PWK secara tematis. Urusan kita "publik", jadi tidak terlalu soal "siapa dikendalikan siapa", tetapi bagaimana supaya ide dan misi PWK itu bisa menjadi Agenda Kebijakan nasional dan daerah, supaya dibahas, dan dirioritaskan, untuk diputuskan seperti rencana, dan mendapat dukungan sumberdaya pula (dana, kerjasama instansi lain, dst). (Oleh Risfan Munir)

Sunday, July 3, 2011

Percaturan Kebijakan dan Implementasi

Suatu kebijakan yang telah diputuskan sekalipun, tak ada jaminan akan dilaksanakan atau dipatuhi.

Bisa jadi ini tergantung komitmen para aktor (pemerintah, stakeholders), atau ketiadaan sumberdaya pendukung, atau perubahan situasi, dst. Bisa perencanaan dan keputusannnya memang kurang matang, reaktif menjawab tuntutan masyarakat.

Sebagai contoh, kebijakan pembangunan rumah susun, sudah sempat jadi opini publik awal 1980an, karena kebutuhannya saat itu sudah terasa di kota besar. Akhirnya berhasil jadi kebijakan, dengan UU 16/1985 ttg Rumah Susun. Tapi ternyata kebijakan setingkat UU pun bisa tak berjalan, mungkin karena usulan anggaran tak pernah goal. Karena Rusun biaya konstruksinya mahal (struktur baja sama untuk yg murah ataupun mewah). Ada rasa tak adil, karena penerima manfaat sedikit. Kampanye waktu itu gencar, sampai ada film "Cintaku di Rumah Susun" (Eva Arnaz).

Baru 20-25 th kemudian, setelah commuting kian menyita waktu dan uang (macet), maka warga mulai menerima rusun. Kota besar kian padat, semrawut. Lalu ada faktor leader, Wapres JK mencanangkan pembangunan 1000 towers Rusun. Maka pembangunan Rusun jadi marak. Kalangan menengah lebih bisa menerima, karena ada subsidi juga.
Tapi untuk kelas bawah, tampaknya harga masih terlalu mahal. Tapi bagaimana setelah pendorongnya lengser, apakah kecepatan pembangun rusun masih pesat? Waktu lah yang membuktikan.

Kesimpulan dari aspek "percaturan kebijakan", bhw perjalanan dari "Isu » Opini Publik » Agenda Kebijakan » Kebijakan" itu lama, bisa a lot persetujuan tiap aktor. Tapi setelh jadi UU juga, pelaksananannya masih perlu pergulatan untuk bisa realisasi anggaran. (Risfan Munir)


Powered by Telkomsel BlackBerry®

Saturday, July 2, 2011

Perjuangan Isu menjadi Kebijakan

Mengapa beberapa isu perencanaan akhirnya menjadi Kebijakan Pembangunan? Mengapa jadi kebijakan tapi tidak dilaksanakan? Mengapa yang lain hanya berhenti pada karya tulis saja?

Menurut Parsons (2005), tahapannya:
(ISU » Opini Publik » Agenda Kebijakan » KEBIJAKAN)

ISU ialah persoalan yang permasalahkan. Misal: merokok dianggap mengganggu kesehatan publik. Lalu ada yang mengangkat, mempromosikan isu ini.
Muncul pro vs kontra, terjadi debat » artinya jadi Opini Publik (OP).
Kalau debat, diskursus, kampanye berlanjut, menunjukkan jumlah massa dan kekuatan (elit, dana, power) maka bisa kembang jadi » Agenda Kebijakan (AK) yg punya nilai untuk dibahas politikus, petinggi institusi publik, legislatif. Dan, kalau menang/goal akan jadi KEBIJAKAN.

Kasus rokok, diperjuangkan, diwacanakan oleh beberapa dokter, melalui media massa, talk-show, dst. sempat beberapa kali masuk RUU, tapi akhirnya 1/2 berhasil, jadi perda anti rokok. Polemik tentu muncul karena ada kepentingan ribuan petani tembakau; dari pabrik rokok.

Dalam perencanaan wilayah, dulu "think-thank" dari Planologi ITB memperjuangkan konsep perencanaan wilayah. Ini mendapat response dari Dr. Poernomosidhi, yang antusias dgn masalah "pemerataan pembangunan", bersamaan dengan beliau yang dulunya Deputi Regional Bappenas, lalu menjadi Dirjen Bina Marga, lalu Menteri PU yang juga mengembangkan Transmigrasi. Maka akhirnya menjadi Kebijakan Pengembangan Wilayah Nasional. Yang dilaksanakan dengan investasi berbagai prasarana (jalan raya) wilayah dan prasarana kota (NUDS, P3KT, dst).

Tantangan ke depan, apa ISU perkotaan/ wilayah yang akan diusung Planner, untuk bisa jadi OP, AK, dan akhirnya jadi Kebijakan dalam PWK? Tentu dengan cara Orde Reformasi, yang beda caranya dengan era Orba (Risfan Munir)

Powered by Telkomsel BlackBerry®

Friday, July 1, 2011

Percaturan Agenda Kebijakan PWK

Tidak seperti dugaan para perencana atau teknokrat, rupanya "percaturan kebijakan" (naik/turunnya agenda kebijakan) tidak selalu berdasarkan alasan logis dan analisis rasional.

Naiknya suatu isu menjadi agenda kebijakan digambarkan seperti "benda-benda berserakan yang mengapung di kolam", ide-ide mengambang, bisa saling bergabung menjadi agenda kebijakan, bisa cerai-cerai (Parsons, 2005)

Isu tentang dampak lingkungan pembangunan fisik intensif di pantura Jakarta, atau aspek pengelolaan risiko bencana, misalnya, bisa menipis dalam agenda kebijakan RTRW 2030 Jakarta.

Sebaliknya, kasus hukuman mati bagi Ruyati, dan penghentian pengiriman TKI ke Saudi, mendesakkan agenda percepatan penciptaan lapangan kerja di "kantong-kantong" asal daerah TKI. Implikasi kebijakannya, realokasi dana pembangunan dari prioritas2 sebelumnya, dialihkan kepada "pengembangan ekonomi lokal" ke daerah asala TKI tersebut.

Kemendesakan, kejadian, situasi yang menyedot simpati publik, bisa jadi momentum perubahan prioritas atau agenda kebijakan sebelumnya, tanpa kesulitan. (Risfan Munir)
Powered by Telkomsel BlackBerry®