Wednesday, April 28, 2010

PETA KOMPETENSI DAN PROFESI PWK/Planologi

Oleh Risfan Munir

Tulisan ini dimaksud untuk retrospeksi atas pengalaman belajar, bekerja dan mengamati teman-teman sebagai Planner, Planolog, atau Ahli PWK. Tidak ada maksud mempertanyakan atau menggugat sesuatu. Melihat ilmu dan profesi bisa dari Kurikulum (bekal sekolah)nya, juga dari kiprah Keprofesian atau pekerjaan alumni sekolahnya.

Kompetensi (Bekal Ilmu)

Melihat gambar pohon PWK (perencanaan wilayah & kota) di bawah, secera diagram sederhana jelas bahwa akar atau bekal dasar ilmu PWK berasal dari sumber-sumber ilmu basic Lingkungan, Kebumian (geologi, geodesi, geografi), Engineering (sipil), Ekonomi, Demografi, Sosial, Budaya (arsitek, anthropologi), Manajemen, Hukum, MKDU (mata kuliah dasar umum).



Dari bahan dasar yang multi bidang itu, diserap, diracik dengan ilmu gabungan (teori lokasi, urban/regional geography, urban/regional economic), Ilmu-ilmu gabungan/sintesis ini penting untuk menguasai ilmu (bahan adonan) wilayah/kota. Seperti insinyur mesin harus menguasai ilmu logam, sifat fisika dan kimianya, Planner juga harus menguasai teori lokasi (gabungan ekonomi dan geografi) untuk memahami persebaran penduduk, kegiatan ekonomi (tani, industri, dagang, jasa). Dalam implementasi skala kota atau wilayahnya. Sebagai dasar memahami land-use dan Struktur Ruang Kota dan Wilayah. Suka atau tidak “pertimbangan ekonomi” (terutama skala wilayah) adalah motivasi dasar manusia berlokasi, beraglomerasi. Hampir tidak ada kota di zaman sekarang yang tidak tumbuh, di datangi orang, karena motif “ekonomi” atau “diekonomikan” (kota wisata budaya misalnya).

Karena itu perlu belajar juga Studi Pembangunan (development studies) sebagai perkawinan ilmu ek-sos-bud-link dengan unsur Kebijakan Pembangunan. Apa orientasi kebijakan pembangunan pemerintah (pro-growth, pro-equality, dan apakah serius atau basa-basi soal pro-poor dan sustainable development). Ini tentu sangat berpengaruh dalam lokasi-alokasi dan distribusi pembangunan dalam ruang. Disamping Planning Theory, Development Studies ini bekal intellectual thinking Planner, agar tidak jadi pelaksana PP, SK saja, tapi bisa mempengaruhinya, mengonsepnya. Kurang kuatnya planning theory dan development studies ini sering membuat Planner agak naïf, dengan menganggap Planning/Pembangunan cuma satu aliran, dan menganggap pemerintah otomatis seperti pemilik setiap jengkal ruang (public), sehingga otomatis produk rencana bisa diterapkan begitu saja.

Naik lagi makin ke inti (core) adalah STRATEGIC PLANNING. Menurut saya pribadi, inilah salah satu CORE COMPETENCE dari Planning/PWK. Seorang Planner baru boleh disebut Planner kalau menguasai Strategic Planning, sebagai way of thinking ataupun tehnik. Apakah menggunakan pendekatan kuantitatif atau kualitatif tidak soal, asal way of thinking dan teknik ber-Strategic Planning ini dia kuasai dengan baik. Tanpa ini seorang Planner akan terombang-ambing oleh bidang-bidang dari basic multi-disiplin itu.

Alat-alat analisis quantitative & qualitative analysis, prinsip-prinsip desain, model-model relasi antar factor, model rencana, dan teknik evaluasi semua ini adalah peralatan ilmiah bagi penyusunan rencana.

Lalu di puncaknya adalah materi dan praktek Site Planning, Urban Planning, Regional Planning, Transportation/Infrastructure Planning, Community Development Planning. Ini adalah model-model perencanaan yang digunakan sebagai studio dan praktek Perencanaan Wilayah & Kota. Model-model kemampuan menyusun produk jadi suatu Rencana Wilayah & Kota. Tentunya nantinya di masyarakat diterapkan sesuai dengan lingkup wilayah, sector dan hubungan “pemerintah-masyarakat-swasta”nya.

Keprofesian (Pekerjaan dan Tempat Kerja alumni)

Dengan berbekal ilmu dan kompetensi di atas, sesungguhnya banyak sekali bidang yang bisa digeluti dan menerima kontribusi profesi PWK. Dan ini terbukti dalam dunia kerja, sebaran alumni sekolah PWK/Planologi ada di berbagai bidang seperti Kem-PU (DJ Penataan Ruang, DJ Ciptakarya, DJ Bina Marga, DJ, Pengairan). Kementerian Perumahan, Perumnas, Bappenas, Kemdagri (Dj Bangda, DJ Otda, DJ BAKD, DJ PUM, DJ Bina Desa), Kementreian Daerah Tertinggal, Menko Kesra, Menko Perekonomian, BKPM, Kem Kelautan & Perikanan, dst. Di daerah hamper pada semua posisi. Di swasta Perusahaan Realestat, Jasa Penilai, Konsultan PWK, Manajemen Pelayanan Publik, capacity building lembaga pelayanan public. Pada lembaga donor, Bank Dunia, UNDP, dan berbagai lembaga bilateral lainnya. Serta di berbagai LSM nasional dan daerah.

Dapat dicatat bahwa di semua bidang kerja dan institusi di atas posisi Perencana bukanlah di pinggiran. Mereka juga menempati posisi puncak, misalnya Eselon-1 untuk lembaga pemerintahan, atau jajaran direksi untuk lembaga swasta dan LSM.

Keimpulannya, di lapangan ilmu Perencanaan wilayah dan kota itu sudah dikembangkan oleh pada alumninya sedemikian rupa sehingga applicable dalam bidang-bidang tersebut. Dalam knowledge management, ilmu memang tidak hanya dari kurikulum sekolah, tetapi siklusnya dilengkapi dengan “pengayaan” (enrichment) dari pelakunya (community of practice) di lapangan. Kekayaan dan visi praktisi dan pengembang/penerap di lapangan ini yang perlu dirangkul dan diakui sebagai “kekayaan khasanah ilmu PWK”.

Sering saya ditanya, kalau begitu ilmunya PL/PWK itu apa kok luas sekali. Jawaban saya CORE dari PWK/Planologi itu sesuai namanya ya (1) STRATEGIC PLANNING dan (2) Penguasaan Materi/Fenomena DINAMIKA WILAYAH & KOTA, atau kemudian ditambah STUDI PEMBANGUNAN.
Ada beberapa profesi yang kuat di Strategic Planning, misalnya dari sekolah bisnis (sumbernya) tapi mereka menerapkannya di dunia bisnis/manajemen. Karena itu kita khasnya di WILAYAH/KOTA. Penguasaan materi dan dinamika W/K ini sebagai sesuatu yang komprehensif tidak banyak orang/ilmu yang menguasainya.

Satu hal yang (menurut saya pribadi) suka tak suka harus dikuasai supaya bisa berargumentasi dengan difahami berbagai disiplin adalah “argumentasi EKONOMI (urban/regional)”. Kalau dianalogkan dengan insinyur sipil atau mesin dasar argumentasi mereka adalah hukum alam (fisika, mekanika). Konstruksi atau desain mesin adalah desain untuk memanfaatkan, mengendalikan hukum gravitasi atau kekekalan energy. Maka PWK analog dengan itu adalah “memanfaatkan, mengendalikan” perilaku ekonomi kota/wilayah. Soal fisik biasanya sekali saja dalam membuat peta land suitability. Selanjutnya dinamika budidaya “memanfaatkan/mengendalikan” motif ekonomi lokasi. Ini argumentasi yang bisa digunakan dialog dengan berbagai disiplin lain yang relatif konsisten. Punya daya ramal juga, karena motif penduduk cukup universal, berlaku di hamper semua tempat dan waktu.

Bahwa itu perlu dimodifikasi dengan pertimbangan lingkungan dan humaniora Oke. Tapi pertimbangan ekonomi adalah motif awal penduduk/kegiatan berlokasi. Masalah ruang yang universal ialah struggle for life (ekonomi). Kalau mau menyeimbangkan juga koreksi atas motif ekonomi itu. Tapi mulainya dari analisis/bahasa ekonomi, supaya dimengerti oleh banyak ilmu lain. Bekal ilmu dasar-dasar ekonomi, regional/urban economic, teori lokasi di S-1 sekarang sudah cukup, tinggal mengembangkan sesuai tempat kerja.

Demikianlah, mudah-mudahan pada Planner muda bisa mengembangkan diri dan berprofesi dengan “dada bidang, bahu lebar”, penuh keyakinan bahwa ilmu PWK sangat menarik dan bisa membekali sarjananya untuk berbuat banyak bagi negeri dan pengembangan diri dan keluarganya. Amin. [RM]

Wednesday, April 21, 2010

Menggagas IAP Masa Depan

Acara Talkshow Syukuran Ulang Tahun IAP, 39th, 1971-2010, sungguh meriah. Ada yang bilang "life begin at 40", berarti IAP sedang masuk kehidupan yang sesungguhnya itu.

Talkshow IAP tanggal 20/4/10, bertema,"Menggagas IAP Masa Depan". Sejauh yang saya tangkap dari 3 Ketua IAP dari periode berbeda tatkala oleh Dhani dipancing dengan pertanyaan: bagaimana IAP (Profesi Perencanaan) ke depan, sementara yang sekarang saja banyak masalah tak tertangani, rencana sering dilanggar, atau disimpan saja.

Ketiga narasumber merespons:
1. Aca S., menyampaikan pandangannya dengan flashback sedikit sejarah IAP, saat beliau jadi Ketua, dan sebagai petinggi bidang lingkungan hidup. Menurut beliau identitas perencana/IAP adalah tetap perencana fisik, penataan ruang. Perencanaan fisik/ruang ini yang jadi "alat manajemen pembangunan". Menghadapi berbagai perubahan, beliau mengingatkan pada adagium "Planning as a process" yang perlu dikawal terus melintas perubahan.

2. Kemal T., yang berlatar-belakang aktivis mahasiswa, pengelola lembaga lingkungan, advisor menteri dan UNDP. Melihat dari kompleksitas perubahan tingkat nasional, internasional (demokrasi, desentralisasi, politik, , lingkungan/climate change, ekonomi, keuangan, hukum, justice, dst). Berpendapat, ada keniscayaan untuk bekerja sama, terbuka thd berbagai disiplin yang terkait kota dan wilayah.

Planner tak perlu kecil hati kalau "rencana tak selalu bisa diterapkan". Karena bidang apapun yang menyangkut "publik" kok tidak sesuai harapan. Apakah itu hukum, ekonomi, bahkan standar teknik sipil pun dilanggar. Ada situasi struktural di luar kewenangan profesi.

Sebab lain ialah karena planner selama ini tidak punya "kewenangan" di "ruang operasi"nya. Beda dengan dokter yang punya kewenangan di meja operasi. Planner selama ini kewenangannya sebatas institusi perencanaan. Untuk itu harus berjuang atau memperjuangkan "kewenangan" operasionalisasi rencana itu.

3. Iman S., Ketua IAP yang sekarang (2007-2010) menggambarkan pandangannya dengan mengisahkan pengalamannya dengan "blue print planning" untuk wilayah/kota Banda Aceh pasca Tsunami. Rencana yang begitu bagus, melibatkan berbagai disiplin fisik, mempertimbangkan faktor risiko bencana, budaya lokal, akhirnya kandas di tangan pemegang otoritas rekonstruksi, yang menganut pendekatan berbeda (community development). Apa yang salah? Bagaimana ke depan?

Kesimpulan saya pribadi setelah mendengar ketiga pandangan tersebut, terpikir perlunya melihat pilihan-pilihan oleh IAP ke depan dalam skenario.
Ada dua faktor dominan yang mencuat dari ketiganya: (1) Faktor membatasi diri pada tata ruang/ fisik, atau melibatkan bidang terkait kota/wilayah; (2) Faktor pendekatan blue-print planning vs "planning as a (learning) process" (John Friedman).

Kalau kedua faktor itu dibuat jadi sumbu vertikal & horizontal, jadinya:
-Kwadran1: Orientasi TERBUKA atas keterlibatan disiplin lain; dan Planning as a LEARNING PROCESS.
-Kwadran2: Orientasi TERBUKA atas keterlibatan disiplin lain; tapi cenderung kepada pendekatan BLUE PRINT Planning.
-Kwadran3: Orientasi BATASI DIRI pada Penataan Ruang; dan Planning as a LEARNING PROCESS.
-Kwadran4: Orientasi BATASI DIRI pada Penataan Ruang; dan cenderung kepada pendekatan BLUE PRINT Planning.



Skenario1 (KW1) - Progresif. Ini kalau IAP memilih menyongsong masa depan dengan keterbukaan untuk melibatkan dan mengakomodir disiplin lain, seperti hukum, ekonomi, lingkungan, sosbud terkait masalah pembangunan kota & wilayah. Dan, mengembangkan pendekatan yang mangakomodir perubahan dan partisipasi stakeholders dengan melihat "Planning as a process" (John Friedman) yang berkelanjutan (continuous process improvement).

Argumentasi: Perkembangan wilayah dan kota sudah begitu kompleks, dengan isyu-isyu yang melibatkan berbagai bidang, disiplin ilmu. Isyu-isyu spatial justice, dampak climate change, desentralisasi kewenangan, demokratisasi proses perencanaan dan implementasi. Semua menuntut kerja multi disiplin. Isolasi pada dengan membatasi diri pada ‘tata ruang’ dan menganggapnya sebagai ‘pusat atau kunci’ solusi perkotaan dan wilayah layak dipertanyakan

Skenario2 (KW2) - Ini kalau IAP terbuka tidak membatasi diri pada penataan ruang semata. Tapi pendekatannya memilih konvensional seperti blue-print planning, disiplin ketat.

Argumentasi: pertimbangan boleh melibatkan berbagai disiplin, tetapi kalau keterbukaan multi disiplin itu dibiarkan melebar, maka tidak akan kemana-mana. Proponen Skenario ini berpendapat bahwa setelah pertimbangan multi-disiplin ditangkap, maka penyusunan rencana dan pelaksanaannya haruslah terstruktur baik, jangan ada perdebatan lagi. Sehingga semuanya bisa terstruktur dan terukur dengan baik.

Skenario3 (KW3) – Ini kalau IAP pokoknya membatasi (kompetensi) diri pada disiplin perencana ruang semata, tapi luwes dalam implementasi. Realistis terhadap berbagai perubahan situasi (pol, ek, sos, bud, link) dan aspirasi masyarakat (stakeholders).

Argumentasi: pendukung scenario ini beranggapan bahwa Perencana Wilayah dan Kota jelas batasan bidangnya pada aspek fisik, ruang. Bukan ekonomi, bukan hokum. Karena kalau terlalu luas pertimbangan dan tujuannya malah tidak kemana-mana. Identitas di mata profesi lain dan masyarakat juga jadi membingungkan, bisa diminta/dituntut macam-macam. Lebih baik jelas-jelas saja, tata ruang. Namun, dalam proses penyusunan rencana, pelaksanaan dan pengendaliannya bersifat terbuka, partisipatif. Planning as a learning process. Berkembang sesuai dengan tuntutan perubahan lingkungan dan waktu.

Skenario4 (KW4) - kalau ternyata IAP membatasi diri pada penataan ruang semata; serta cenderung teguh pada blue-print planning. Rencana sebagai sesuatu yang fixed.

Argumentasi: ilmu planologi (perencanaan wilayah, kota) adalah engineering, maka sebisa mungkin harus fisik, ruang dan determined (kalau bukan eksak). Masyarakat, swasta, Pemda, birokrat sektoral harus mematuhi peraturan-perundangan penataan ruang yang ada. Bukan sebaliknya. Pendukung scenario ini beranggapan bahwa secara bertahap semua pihak harus mengikuti rencana tata ruang yang ada.

Keempat scenario di atas tentu saja visualisasi saya yang mencoba memahami dan membayangkan seperti apa “IAP Masa Depan” berdasarkan pointer atau keywords dari tiga nara sumber dalam Talkshow IAP yl.

Sekali lagi scenario disini adalah alat untuk memahami masa depan, bukan rencana masa depan. Dengan memahami skenario yang mungkin terjadi, arah langkah bisa difokuskan, dan terhadap skenario yang manapun (karena terjadi luar kendali kita) kita siap mengahadapinya. Bagaimana implikasi dari masing-masing Skenario tersebut, dan program aksi apa untuk mengantisipasi apa yang terjadi di masa depan ada pada Tulisan berikutnya. [Risfan Munir, alumni PL-ITB]