The "CREATIVE CITY" is a concept developed by Australian David Yencken in 1988 and has since become a global movement reflecting a new planning paradigm for cities. It was first described in his article 'The Creative City' (Wikipedia).
KOTA KREATIF (Creative City) sebagai Ide, Gerakan perlu didukung. Bayangkan, belasan kota-kota kita Kota Besar dan Metro nyaris sama nuansanya, termasuk billboard iklannya.
Kota-kota umumnya memamerkan Shopping Centers yg nyaris sama bentuknya. Susunan pertokoannya jg nyaris seragam. Counters, kafe2 resto2, juga nyaris sama. Bahkan di P Bali sekalipun. Kekhasan lokal sangat kecil, dan kl ada dipinggir.
Padahal kita pd kesempatan lain, bangga dgn kekayaan budaya, aneka gaya bangunan, pola corak tenun, busana, kuliner.
Beberapa kota yg terasa beda, punya budaya, kekhasan, misalnya (yg lama): Solo, Yogya.
Yg berhasil diangkat oleh pemda dan warganya: Ambon, Bandung, Banyuwangi, Pekalongan, Sawahlunto, Tomohon. Upaya2 yg layak dihargai.
Bukan saja unt mengundang wisatawan. Tapi jg mengangkat desain, tradisi, produk2 budaya khas setempat. Ekonomi kreatif setempat jd hidup kembali.
Untuk bagian wilayah kota ada: Kotagede Yogya, Kota Tua Jakarta, Kota Lama Semarang, dst. Yg mengangkat pusaka/heritage gedung2 dan sites-nya sbg latar untuk menampilkan kreasi desain, seni, dan khas budaya setempat.
Dengan kata lain KOTA KREATIF (CREATIVE CITY) ialah Kota (permukiman) dgn Ekonomi Kreatif (14 jenis Ekraf) sbg penggeraknya.
Beberapa Kota tampak nyata hidup, tumbuh krn kegiatan Ekraf sebagai penggeraknya, seperti Pekalongan yg tumbuh krn industri Batik. Banyak permukiman tumbuh berkembang krn keg ekonomi Kuliner nya, baik krn pembuatan makanan, atau dgn warung, resto yg berpusat disitu.
Lbh mikro lagi, pertokoan, mall, ditentukan oleh area "kuliner" dan "fashion/pakaian"nya (keduanya Ekraf).
Dengan kata lain sebagian pertumbuhan kota pd masa kini, banyak oleh kegiatan EKRAF, terutama kuliner dan pakaian. (Risfan Munir)