Small is Beautiful memang dilontarkan saat sistem besar tidak jalan karena terlilit masalah yang "semua soal disebabkan oleh semua soal" alias grid-lock. Sehingga sistem macet. Mungkin seperti kita alami alami sekarang. Tidak tahu mesti mulai dari mana.
Anggaran tak cukup krn tidak efisien. Mau program efisiensi juga perlu anggaran. Lingkungan mau ditertibkan dihadang alasan sosial-ekonomi, sementara untuk mengatasi soal ekonomi perlu penertiban, dst.
Solusi pilihan dari atas biasanya "grand strategy" yang komprehensif, multisektor, dengan visi besar, dst. Tapi yang terjadi (yang dialami Schumacher juga), justru inersia, kemandegan. Justru visi nya jadi perdebatan, langkah besarnya jadi wacana. Sementara semua unit organisasi jadi diam. Menunggu, menonton. Contohnya, misi membasmi korupsi, yang dimulai dengan judul besar, dibentuk lembaga nasional. Yang terjadi malah mandeg disitu, pimpinan KPK nya digugat, ada Gayus, dst. Perlawanan dari jaringan koruptor terjadi. Program jadi macet, semua warga menonton. Sementara korupsi kecil2 tetap jalan.
Padahal kalau tidak digembar-gemborkan sebagai pembasmian korupsi. Tapi dijadikan gerakan efisiensi di kantor masing-masing, pada skala kecil, tapi semua orang bisa terlibat (tak hanya menonton). Pasti penghematan akan terjadi.
Begitu pula penataan kota. Kalau hanya mengandalkan masterplan, program besar, smentara tiap warga tidak bisa terlibat, karena besar dan invisible. Misalnya kita sebagai warga kota, bisa apa terhadap implementasi masterplan. Lain kalau itu dijadikan kerja skala kecil. Rasanya bisalah tiap warga menata lingkungan (RT/RW) nya. Memilah sampah, melancarkan drainase, membuat rambu lalu-lintas, menata rute lalu-lintas, membersihkan tanah terlantar dan menghijaukannya, dst. Termasuk kepedulian terhadap MBR (masyarakat berpenghasilan rendah), memfasilitasi pertemuan antar usaha mikro dan dengan yang lebih besar.
Pengalaman saya mengembangkan ekonomi lokal di banyak kab/kota juga demikian. Saat grand-strategy hanya membuat banyak pihak menunggu. Maka langkah kecil seperti "to connect people", mempertemukan pemasok dgn produsen, produsen dgn pedagang, eksporter, juga dgn bank. Ternyata langkah-langkah kecil itu yang mampu melakukan terobosan, bahkan akhirnya banyak yang bisa ekspor. Sementara yang menunggu program nasional, nunggu penyepakan strategi, masih tetap menunggu dan mulai tenggelam dalam kritik nasional.
Tentu saja Small is Beautiful bukanlah pendekatan tunggal, setelah unit-unit kecil bisa gerak, optimisme tumbuh, terbentuk trust, maka kesepakatan akan grand strategy lebih mudah dicapai, dan unit-unit mau melaksanakannya. Dan, tentu urusan publik skala besar tetap dilakukan instansi atau organisasi yg ditunjuk.
Sekali lagi, pendekatan SiB ini senada dengan Kaizen (perbaikan berkelanjutan) dalam manufacturing ala Jepang. Mengutamakan perbaikan kecil, sehingga semua orang bisa terlibat, tp dilakukan tiap hari secara kontinu. [Risfan Munir, perencana wilayah dan kota]
No comments:
Post a Comment