Saya ingat diawal saya belajar Pengembangan Wilayah beberapa dekade yang lalu. Masalah regional inequality, fenomena primate city, terutama disebabkan negara yg baru merdeka, atau baru membangun (LDC/DC) dihadapkan tuntutan pertumbuhan ekonomi cepat untuk ketidak-sejahteraan, atau malah belum sempat mikir itu. Maka pertumbuhan termudah adalah di sekitar ibukota (peninggalan kolonial). Dalam kasus indonesia, ya Jakarta.
Namun pola itu nampaknya menerus, karena kecenderungan "lomba cepat pertumbuhan" itu adalah kebutuhan yang tak ada habisnya. Sementara membangun prasarana di luar jakarta, luar jawa itu biayanya mahal. Dan, dampaknya terhadap penyebaran penduduk, terutama kegiatan ekonomi juga tidak otomatis. Ingat trans-Sumatera, malah meningkatkan akses ke Jakarta. Trans Sulawesi, kalimantan, di Papua, kita semua tahu investasi Pemerintah sangatlah besar. Plus, transmigrasi. Lalu NUDS yang diimplementasikan dengan IUIDP. Mayoritas Planner tahun 70an-awal 90an umumnya terlibat upaya-upaya penyebaran.
Entah kenapa, pertumbuhan masih bandel di sekitar Jakarta dan Jawa. Susah betul menumbuhkan pusat-pusat yang telah didorong secara optimal selama 4 dekade itu.
Setelah Reformasi, kita memasuki era rezim-rezim seumur jagung. Boro-boro mikir penyebaran pembangunan skala nasional. Tiap hari rezim 5 tahunan ini tentu dikejar perbaikan kinerja indikator makro ekonomi, GDP, angka kemiskinan, pengangguran. Sementara hutang untuk membangun prasarana skala besar sudah kian sulit didapat. BUMN sudah dijual terus buat nombok anggaran.
Baru rezim ini yang mencapai masa 5 tahun kedua. Saya pikir rezim pula yang mulai sempat berpikir tentang 6 koridor pengembangan wilayah. Yah, moderate lah, mulai dari yang paling potensial. Jadi jangan cuma melihat ide "greater Jakarta" sebagai satu-satunya konsep rezim ini. Ada juga 6 koridor.
Tapi kembali ke soal klasik Pengembangan Wilayah, rezim pemerintahan di negara kita normalnya memang 5 tahunan, dan secara politis siapapun orangnya akan dituntut untuk menjaga angka pertumbuhan ekonomi, besarnya cicilan hutang, besarnya subsidi. Politikus lawan menekankan itu tiap hari.
Kita tahu DPD posisinya lemah, sementara DPR kurang berorientasi daerah. Instansi Pusat, seperti diskusi kita cenderung "mempersulit" Daerah untuk betul-betul otonom. Padahal, harapannya Otonomi daerah akan mendorong daerah lebih berinisiatif. Tokoh-tokoh inovasi Daerah pun terjerat hukum (prosedur), setelah pak Ibnu dari Sleman, sekarang Gede W dari jembrana terjerat hukum. Kian takut orang daerah melakukan inovasi.
Dengan situasi seperti ini, tidak tertutup kemungkinan memang, kecenderungan lbh mengutamakan Jangka Pendek (drpd jk panjang), lebih memprioritaskan Pertumbuhan (drpd pemerataan); kemungkinan masih akan jadi tantangan pengembangan wilayah di masa depan.(Risfan Munir, alumni SPPK-ITB)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
No comments:
Post a Comment