Kerjasama Antar Daerah dalam Pengembangan Wilayah rupanya sudah menjadi agenda baru. Mungkin ini antitesis dari trend pemekaran (pemecahan) daerah. "Metropolitan" karena merupakan bentuk kerjasama. Saya baca Prof. Dr. Tommy Firman, guru besar Perencanaan Wilayah dan Kota ITB juga menulis di jurnal ttg KAD metropolitan Jabodetabek, juga Kertomantul. Beberapa teman alumni German malah S2 nya pd Progam KAD (rupanya sdh jadi prodi).
Seperti pacaran, atau pertetanggaan, sebab awalnya bisa macam2, inisiatornya juga macam2. Tapi "nyambung" kah antar hati, antar kebutuhan. Adakah kepentingan bersama, atau kepentingan komplementer, supply-chain antar pihak yang mau bekerjasama. Adakah kemesraan historis, atau sebaliknya dendam kesumat di antaranya?
Kata "governance" dalam Metropolitan Governance tentu krn menyangkut tidak hanya Pemda, tapi juga Nasional/pusat, unsur swasta, swadaya masyarakat, ormas, orpol, individu, dari dalam daerah, dari daerah lain, dari nasional, dst. Karena itu selalu "multi-kepentingan". Bukan jamannya lagi menilai policy, inisiatif berdasarkan siapa inisiatornya. Ukuran efektivitasnya mungkin lbh pada "ada saling menguntungkan" antar daerah atau tidak.
Kalau kerjasama itu karena jaringan prasarana regional, atau alam (DAS), juga tidak apa toh. Karena ada ikatan masalah bersama, mengatasi masalah transportasi, atau kerjasama komplementer hulu (konservasi), hilir (memanfaatkan), bagaimana kompensasi bagi yang konservasi, perlu dibahas dalam kerjasama. Juga kerjasama soal angkutan umum, sanitasi, persampahan, air bersih.
"Cinta" dalam KAD mungkin tak harus "suci dan murni", namanya antar kepentingan, yang penting masing-masing merasa ada timbal balik.
Kembali ke inisiator, sebetulnya "dijodohkan" juga tak apa,asal kepentingan "antar dan masing2 daerah" yang jadi sasaran, bukan kepentingan "mak jomblang" yang ditonjolkan, kepentingan tiap daerah justru dikesampingkan.
Yang sulit kalau saya amati ialah "keterbukaan" dan "tak ada dusta antara daerah". Ini menyangkut Pemda yg banyak aturannya (dihujani aturan pusat), ewuh-pekewuh soal menyatakan "take n give" (apalagi soal materi) antar daerah. Tidak berani, atau tidak bisa menghitung brp/apa cost, brp/apa benefit masing2 membuat mereka "diam2, menunda" pelaksanaan kerjasama. Ini beda dgn swasta yang krn bisnis lbh mudah pasang "tuntutan dan kontribusi".
Penutup, KAD ini merupakan kajian yang perlu dikembangkan dan dikaji dari berbagai pengalaman sukses/gagal yang ada. Saya setuju dengan pak BSP, spt dalam manajemen umumnya, kerjasama antar SKPD sejenis dengan topik konkrit soal manajemen persampahan, SDA, dst, step-by-step akan lebih efektif, mengingat aktor yang mulai kerjasama biasanya satu profesi, satu bahasa. Daripada mendadak kerjasama multi-sektor antar daerah; karena tidak
konkrit maka topik politis mudah masuk. Antar planner, sanitary engineer, insinyur sipil Kota Abece dgn Kab. Abece bisa lebih mudah kerjasama, daripada KDH-nyan karena hasil pemekaran biasanya menyimpan "ganjalan tertentu."
Juga, mak-comblang ya jadi jomblang saja tak haris tampil sebagai "lembaga
koordinasi" yang menyaingi mereka yang "berpacaran". [Risfan Munir, perencana pengembangan wilayah dan kota]
LOGFRAME: PEMBANGUNAN JALAN REGIONAL
4 years ago