Proses (politik) kebijakan pembangunan perumahan bagi orang miskin, saya merupakan contoh percaturan kebijakan dalam pembangunan kota.
Defisit (backlog) rumah dari 8,1 juta menjadi 13,6 juta, artinya sejumlah itu keluarga yang tak berumah. Mereka mungkin numpang di rumah famili, atau di rumah darurat. Implikasi lain, ada pertambahan lingkungan kumuh di perkotaan.
Sementara target resmi pembangunan rumah Kemenpera 2011-2014 hanya 1 juta unit. (Bisnis Indonesia, 30/6/2011)
Pertanyaannya: yang menutup kekurangan 12,6 juta rumah siapa? Apakah memang itu tanggung-jawab Pemerintah semua?
Lalu, 1 juta rumah yang dibangun Pemerintah itu untuk siapa? untuk masyarakat miskin? Pemerintah (Kemenpera) membangun atau memfasilitasi saja? Dst.
Berbagai pilihan kebijakan, kritik dan saran disampaikan, a.l.:
- prioritaskan masyarakat miskin; karena contohnya Rusunami, hanya 20% tepat sasaran, selebihnya untuk lapisan lebih tinggi, karena harga terlalu mahal (kata Adrianof Chaniago dari UI)
- libatkan peran penbgembang besar - pengembang superblok harus membangun rusunami. Agar skema 1:3:6 untuk pembangunan diterapkan lagi (Ali tranghanda dari Indonesia Property Watch/IPW)
- Pemerintah sebaiknya menguatkan kelembagaan penyelenggaraan pembangunan perumahan rakyat. Pemerintah perlu duduk bersama dengan para stakeholders, baik di pusat atau daerah, guna memfokuskan koordinasi dengan pemerintah daerah (kata Zulfi Syarif Koto dari "housing n urban development (HUD)" institute;
Sementara itu Menpera sehubungan pesatnya pertumbuhan perkotaan saat ini mengatakan diperlukannya "perubahan paradigma dan preferensi masyarakat dari tapak ke hunian vertikal".
Menanggapi backlog jumlah rumah, Menpera mengharapkan peran pemerintah daerah dan para pemangku kepentingan dalam pembangunan "perumahan swadaya" agar layak huni.
Dari membaca beberapa pernyataan para analis dari lembaga independen dan Menpera ada beberapa pemikiran yang bisa dipadukan untuk memperbaiki kebijakan pembangunan perumahan rakyat.
Tapi pernyataan2 tersebut belum lengkap, karena belum menangkap aspirasi dari "masyarakat yang belum punya rumah", legislatif, pihak pembangun/ pengembang perumahan, lembaga keuangan, atau pemerintah daerah, dan lainnya.
Berita ini sendiri dimuat di koran para pelaku usaha, sehingga coraknya masih dari sudut pandang bisnis.
Percaturan ini tak mengungkap adanya unsur pro/contra seperti umumnya "debat kebijakan publik". (Risfan Munir)
Powered by Telkomsel BlackBerry®