Monday, January 31, 2011

Strategi Adaptasi Nelayan

Perubahan cuaca ekstrem telah berdampak pada kehidupan nelayan di Tanah Air. Ratusan ribu nelayan tidak bisa melaut dan puluhan nelayan hilang terseret ombak.

Nelayan dari 26 kabupaten/ kota di 15 provinsi mengungkapkan dampak cuaca ekstrem dalam "Temu Akbar Nelayan 2011 dan Pertemuan Nasional IV Koalisi
Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara)", Kamis (27/1) di Jakarta (Kompas, Jumat, 28 Januari 2011)

Strategi Membantu

Mungkin perlu klasifikasi masalah. Untuk Daerah yang frekuensi bencananya tinggi mungkin perlu ditawarkan untuk pindah lokasi kalau mereka bersedia, dan dicarikAn lokasi yang aman. Atau persiapan alih profesi dengan memperkenalkan kegiatan ekonomi baru, non perikanan.

Sedang untuk yang potensi bencananya sedang, bisa dipelajari kegiatan ekonomi alternatif, kalau musim tak memungkinkan mereka melaut. Dan seterusnya.

Untuk itu kerjasama sektoral dan antar daerah sangat diperlukan, karena permasalahan Daerah dan kementerian Kelautan dan Perikanan semata. (Risfan Munir, planner)

Powered by Telkomsel BlackBerry®

Thursday, January 20, 2011

Masalah Klasik Pengembangan Wilayah

Kalau pendapat Planner, mungkin hampir 100% mendukung multi-growth-center di luar Jawa.

Saya ingat diawal saya belajar Pengembangan Wilayah beberapa dekade yang lalu. Masalah regional inequality, fenomena primate city, terutama disebabkan negara yg baru merdeka, atau baru membangun (LDC/DC) dihadapkan tuntutan pertumbuhan ekonomi cepat untuk ketidak-sejahteraan, atau malah belum sempat mikir itu. Maka pertumbuhan termudah adalah di sekitar ibukota (peninggalan kolonial). Dalam kasus indonesia, ya Jakarta.

Namun pola itu nampaknya menerus, karena kecenderungan "lomba cepat pertumbuhan" itu adalah kebutuhan yang tak ada habisnya. Sementara membangun prasarana di luar jakarta, luar jawa itu biayanya mahal. Dan, dampaknya terhadap penyebaran penduduk, terutama kegiatan ekonomi juga tidak otomatis. Ingat trans-Sumatera, malah meningkatkan akses ke Jakarta. Trans Sulawesi, kalimantan, di Papua, kita semua tahu investasi Pemerintah sangatlah besar. Plus, transmigrasi. Lalu NUDS yang diimplementasikan dengan IUIDP. Mayoritas Planner tahun 70an-awal 90an umumnya terlibat upaya-upaya penyebaran.

Entah kenapa, pertumbuhan masih bandel di sekitar Jakarta dan Jawa. Susah betul menumbuhkan pusat-pusat yang telah didorong secara optimal selama 4 dekade itu.

Setelah Reformasi, kita memasuki era rezim-rezim seumur jagung. Boro-boro mikir penyebaran pembangunan skala nasional. Tiap hari rezim 5 tahunan ini tentu dikejar perbaikan kinerja indikator makro ekonomi, GDP, angka kemiskinan, pengangguran. Sementara hutang untuk membangun prasarana skala besar sudah kian sulit didapat. BUMN sudah dijual terus buat nombok anggaran.

Baru rezim ini yang mencapai masa 5 tahun kedua. Saya pikir rezim pula yang mulai sempat berpikir tentang 6 koridor pengembangan wilayah. Yah, moderate lah, mulai dari yang paling potensial. Jadi jangan cuma melihat ide "greater Jakarta" sebagai satu-satunya konsep rezim ini. Ada juga 6 koridor.

Tapi kembali ke soal klasik Pengembangan Wilayah, rezim pemerintahan di negara kita normalnya memang 5 tahunan, dan secara politis siapapun orangnya akan dituntut untuk menjaga angka pertumbuhan ekonomi, besarnya cicilan hutang, besarnya subsidi. Politikus lawan menekankan itu tiap hari.

Kita tahu DPD posisinya lemah, sementara DPR kurang berorientasi daerah. Instansi Pusat, seperti diskusi kita cenderung "mempersulit" Daerah untuk betul-betul otonom. Padahal, harapannya Otonomi daerah akan mendorong daerah lebih berinisiatif. Tokoh-tokoh inovasi Daerah pun terjerat hukum (prosedur), setelah pak Ibnu dari Sleman, sekarang Gede W dari jembrana terjerat hukum. Kian takut orang daerah melakukan inovasi.

Dengan situasi seperti ini, tidak tertutup kemungkinan memang, kecenderungan lbh mengutamakan Jangka Pendek (drpd jk panjang), lebih memprioritaskan Pertumbuhan (drpd pemerataan); kemungkinan masih akan jadi tantangan pengembangan wilayah di masa depan.(Risfan Munir, alumni SPPK-ITB)

Powered by Telkomsel BlackBerry®

Sunday, January 9, 2011

Small is Beautiful 1

Dua hari yang lalu Kompas mengangkat soal kemiskinan ("Utang, Kurangi Makan, Bunuh Diri"), selain berita harian kontinyu soal korupsi, dan tentu soal pembangunan kota-kota (macet, banjir, dst).

Kalau dibaca dan dipikirkan, masalahnya memang terjadi gridlock, semua disebabkan oleh semua, sehingga yang terjadi adalah inertia, kemandegan.

Dalam keadaan seperti ini, grand strategy, program dengan judul-judul besar ternyata malah jadi masalah baru. Misalnya, anti korupsi via KPK malah jadi persoalan politik, gosip nasional tanpa jalan keluar. Dan, grand strategi lain untuk mengurangi kemiskinan, penciptaan lapangan kerja via pertumbuhan ekonomi nasional, dst.

Bagaimana mengharap grand strategy berjalan saat para pejabat daerah takut disoroti dan dicecar dengan berbagai peraturan yang seolah bersaing. Sementara yang berteriak juga tidak paham betul soal substansi.

Small is Beautiful

Kondisi inersia ini mengingatkan akan buku "Small is Beautiful" tulisan EF Schumacher. Ide ini muncul tatkala organisasi raksasa macet. Jalan keluarnya justru mulai dari langkah-langkah perubahan kecil-kecil di unit-unit kecil. Keberhasilan, perbaikan, walau kecil ternyata membesarkan hati, menimbulkan semangat baru, setelah lama menghabiskan sumberdaya untuk debat soal "grand strategy" yang tepat.

Small is beautiful ini juga mengingatkan pada Kaizen (continuous process improvement) dalam manajemen ala Jepang. Langkah-langkah kecil (baby steps) yang tidak memberatkan pelakunya, juga tidak mengancam pihak lain, shg halangan dari diri dan resistensi pihak lain tidak muncul.

Perubahan, perbaikan kecil, misalnya efisien pemakaian kertas, pada unit-unit kerja kita, secara keseluruhan tentu jadi signifikan. Kurangi beban orang miskin dengan memfasilitasi "link" dengan donatur kecil tapi kolektif, dgn filantropis (CSR), tentu secara bertahap memberikan hasil besar.

Bayangkan jika inovasi ibu-ibu PKK Banjarsari mengolah sampah direplikasi ke desa/kel lain secara bertahap, berapa ribu ton volume sampah dikurangi; berapa ribu tenaga kerja bisa diserap. Berapa ha taman bisa diciptakan dan dibersihkan.

Begitu pula dalam pembenahan tata ruang. Bagaimana kalau pemahaman, pengendalian dimulai dari skala ruang terkecil, RW, desa/kel. Sosialisasikan NSPK dan kaidah pengendalian ke beberapa desa/kel, lalu ditularkan ke desa/kel lain. Sehingga tak harus menunggu strategi disepakati, peraturan disusun, persetujuan DAK, dst.

Melalui perubahan2 kecil tersebut, semua pihak jadi bisa dilibatkan, karena syaratnya mudah. Keberhasilan walau kecil akan menimbulkan kepercayaan diri. Pada saat itu baru Grand Strategy menemukan pijakannya. Small is beautiful. [Risfan Munir]

Small is Beautiful 2

Small is Beautiful memang dilontarkan saat sistem besar tidak jalan karena terlilit masalah yang "semua soal disebabkan oleh semua soal" alias grid-lock. Sehingga sistem macet. Mungkin seperti kita alami alami sekarang. Tidak tahu mesti mulai dari mana.

Anggaran tak cukup krn tidak efisien. Mau program efisiensi juga perlu anggaran. Lingkungan mau ditertibkan dihadang alasan sosial-ekonomi, sementara untuk mengatasi soal ekonomi perlu penertiban, dst.

Solusi pilihan dari atas biasanya "grand strategy" yang komprehensif, multisektor, dengan visi besar, dst. Tapi yang terjadi (yang dialami Schumacher juga), justru inersia, kemandegan. Justru visi nya jadi perdebatan, langkah besarnya jadi wacana. Sementara semua unit organisasi jadi diam. Menunggu, menonton. Contohnya, misi membasmi korupsi, yang dimulai dengan judul besar, dibentuk lembaga nasional. Yang terjadi malah mandeg disitu, pimpinan KPK nya digugat, ada Gayus, dst. Perlawanan dari jaringan koruptor terjadi. Program jadi macet, semua warga menonton. Sementara korupsi kecil2 tetap jalan.

Padahal kalau tidak digembar-gemborkan sebagai pembasmian korupsi. Tapi dijadikan gerakan efisiensi di kantor masing-masing, pada skala kecil, tapi semua orang bisa terlibat (tak hanya menonton). Pasti penghematan akan terjadi.

Begitu pula penataan kota. Kalau hanya mengandalkan masterplan, program besar, smentara tiap warga tidak bisa terlibat, karena besar dan invisible. Misalnya kita sebagai warga kota, bisa apa terhadap implementasi masterplan. Lain kalau itu dijadikan kerja skala kecil. Rasanya bisalah tiap warga menata lingkungan (RT/RW) nya. Memilah sampah, melancarkan drainase, membuat rambu lalu-lintas, menata rute lalu-lintas, membersihkan tanah terlantar dan menghijaukannya, dst. Termasuk kepedulian terhadap MBR (masyarakat berpenghasilan rendah), memfasilitasi pertemuan antar usaha mikro dan dengan yang lebih besar.

Pengalaman saya mengembangkan ekonomi lokal di banyak kab/kota juga demikian. Saat grand-strategy hanya membuat banyak pihak menunggu. Maka langkah kecil seperti "to connect people", mempertemukan pemasok dgn produsen, produsen dgn pedagang, eksporter, juga dgn bank. Ternyata langkah-langkah kecil itu yang mampu melakukan terobosan, bahkan akhirnya banyak yang bisa ekspor. Sementara yang menunggu program nasional, nunggu penyepakan strategi, masih tetap menunggu dan mulai tenggelam dalam kritik nasional.

Tentu saja Small is Beautiful bukanlah pendekatan tunggal, setelah unit-unit kecil bisa gerak, optimisme tumbuh, terbentuk trust, maka kesepakatan akan grand strategy lebih mudah dicapai, dan unit-unit mau melaksanakannya. Dan, tentu urusan publik skala besar tetap dilakukan instansi atau organisasi yg ditunjuk.

Sekali lagi, pendekatan SiB ini senada dengan Kaizen (perbaikan berkelanjutan) dalam manufacturing ala Jepang. Mengutamakan perbaikan kecil, sehingga semua orang bisa terlibat, tp dilakukan tiap hari secara kontinu. [Risfan Munir, perencana wilayah dan kota]