Sunday, October 10, 2010

Renungan (Pribadi) 51th Planologi (1)

Menjelang 51th Planologi ITB (PWK-ITB) saya mengalami kemacetan kota Jakarta, membaca bencana alam Wasior, melihat kota yang acak dengan perkampungan padat, PKL cermin angka kemiskinan masih tinggi, dominanya sektor informal, karena kurangnya pekerjaan formal, dst. Apa hubungan kekacauan dan bencana dengan peran saya sebagai sarjana perencana wilayah dan kota (PWK)?

Dengan pikiran sederhana, peran sarjana PWK adalah merencana, lalu siapa yang melaksanakan rencana? Pemerintah. Namun beberapa waktu lalu saya baca berita Menkeu mengatakan bahwa pemerintah tak punya cukup anggaran untuk bangun infrastruktur. Diharapkan partisipasi swasta dalam pembangunan infrastruktur (utama). Dengan kata lain dalam pembangunan kota dan wilayah, anggaran pemerintah juga terbatas.

Pada sisi lain saya melihat pembangunan newtown di wilayah Jabiodetabek, Surabaya, Makassar kian intensif. Para swasta justru kian mampu dan ekstensif membangun kota. Urban renewal pun banyak mereka lakukan, dengan menyulap kawasan "tak terencana" (atau terencana tapi tak terwujud) menjadi newtown in town, superblock, dst. Jadi, secara fisik sesungguhnya perencanaan kota bisa diwujudkan, bukan visi gambar semata. Sudah banyak kota diwujudkan sebagai implementasi rencana kota.

Seorang teman berkomentar, kalau untuk private bisa. Itu untuk masyarakat yang mampu beli rumah, kantor, belanja. Sementara tugas PWK adalah menyangkut publik, masyarakat kebanyakan yang kemampuannya terbatas. Lah, susah dong? Waktu belajar lingkungan visual dulu saya kok tidak belajar tentang indahnya "kampung kumuh"?

Tapi intinya ada pemahaman bersama bahwa PWK memposisikan diri di sisi publik. Tetapi apakah sikap dan peralatan keilmuan saya sebagai sarjana PWK begitu? Kalau dikaitkan dengan realita penyataan Menkeu bahwa negara tak punya anggaran untuk bangun infrastruktur utama. Lalu sebagai perencana kota saya mesti rekomendasikan apa? Gambar jaringan, hitung kebutuhan anggaran, terus sedih karena pasti pemerintah 5an daerah tak mampu melaksanakannya?

Pertanyaan berikutnya: perlukah keilmuan PWK juga masuk ke area implementasi, yang tentu (karena kata Menkeu pemerintah tak punya anggaran cukup) akan menyangkut partsipasi masyarakat dan swasta (kecil sd besar). Konsekuensinya "ilmu teknik" PWK ini akan "tercemari" dengan ilmu-ilmu sosial, kemasyarakatan (yang dulu tampak remeh), dan ilmu-ilmu keuangan, peran swasta (yang dulu nampak najis).

Sejenak membayangkan masa lalu, tahun 1959 kira-kira adalah era Marshal Plan, era rehabilitasi dunia pasca PD-II, dimana ada bantuan besar untuk membangun infrastruktur dan permukiman bagi dunia ketiga. Lalu dilanjutkan dengan era Orba, yang mana pemerintah punya anggaran tak terbatas (dari Bank, oil boom, dll) sehingga peran pemerintah dalam pembangunan infrastruktur dan permukiman untuk mewujudkan rencana PWK sangat besar. Tapi dengan pernyataan Menkeu di atas, era itu telah berlalu.

Renungan saya, kalau era pembangunan yang didukung dana Marshall Plan dan anggaran ditopang Oil Boom itu saja hasilnya adalah masih ribuan atau jutaan hektar "kawasan kumuh", lalu apa yang bisa diwujudkan perencanaan wilayah dan kota di era anggaran terbatas ini.

Nampaknya pilihan PWK mesti dipilih diantara dua Polar: merencana kota indah bersama Developer padat modal (sehingga ilmu desain kota bisa dipuaskan), atau terjun menjadi barefoot planner (sehingga merencana bersama kelompok tak mampu, sambil memberdayakan mereka, sehingga puas apa yang direncana bisa dilaksanakan). Tentu ada the third way, pilihan di tengah, merencana saja untuk instansi pusat atau daerah, lalu lupakan, atau berharap-harap.
Pilihan ketiga tersebut bisa positif kalau diikuti dengan advokasi, pengawalan rencana dengan perjuangan melengkapi aturan yang ada, memenangkan prioritas anggaran. Caranya bisa lobi antar instansi, mengerahkan demo, dst. Tapi apakah PWK itu sebuah gerakan? Ilmu tetaplah ilmu.

Tentu saja instrumen pelaksanaan rencana kota dan wilayah bukan cuma investasi pemerintah, ada instrumen police power (aturan, larangan), juga instrumen insentif/disinsentif. Tapi membuat larangan untuk pelanggaran massal PKL, rumah tumbuh spontan di tengah laut kemiskinan adalah seperti "menyapu daun kering dibawah pohon besar", pagi disapu, sore berserakan lagi. Kalau terlalu galak, aparatnya dikroyok. Kalau terjadi insiden, pejabat bisa dicopot. Jutaan massa miskin selalu siap mebanjiri kota.

Secara pribadi, saya tidak bisa mengusulkan solusi. Tapi karena tak ingin jadi korban "frustrasi" karena ketidak-berdayaan yang disebabkan oleh "ilmu merencana yang pelaksanaannya diluar pengetahuan". Maka ya saya pelajari public policy, pengembangan ekonomi lokal & regional, manajemen pelayanan publik dan urban management, perencanaan bersama masyarakat dan sejenisnya. Kalau toh rencana komprehensif (masterplan) sulit terwujud, setidaknya bisa kontribusi di pemberdayaan ekonomi masyarakatnya, di perbaikan manajemen pelayanannya, public policy dan regulasinya.

Kesimpulan pribadi saya, seperti kata orang "koordinasi itu mudah dikatakan, sulit diwujudkan". Mempelajari hal yang komprehensif, sinergis, multisektor, metadisiplin itu sulit. Lebih sulit lagi menperjuangkan, meyakinkan mayoritas orang yang sekolah dan kerjanya di sektor/ilmu tertentu. Ilmu komprehensif seperti "hollowgram", pada titik/moment yang tepat saja dia tampak, pada moment lain dia invisible. Dari pengalaman juga, kesimpulan saya orang lebih mudah menerima apa-apa yang focused, konkrit, visible. Lebih spesifik lagi, yang ada nomenklatur anggarannya. Sehingga wajar kalau pada kenyataannya planolog sendiri (yang ngaku komprehensif, multisektor) juga ambil spesialisasi (bias) sesuai tempat kerja dan pengalaman profesi masing-masing. Dan, wajar kalau di lapangan terbentuk ragam planolog yang berspesialisasi sesuai tempat kerja dan pengalamannya dalam interaksi aspek fisik, lingkungan, teknoilogi, ekonomi, kemasyarakatan, manajemen, kebijakan publik, dst.

Tapi mungkin inilah profesi yang berkaitan dengan area publik. Seperti visi daerah, "gemah ripah repeh rapih" (baldatun toyyibatun wa robbun ghofur). Niat memakmurkan dan melestarikan semua secara komprehensif. Tapi kadang saya berpikir, bisa menanam satu pohon, memberi makan satu orang lapar, sementara cukup, asal dilakukan secara berkelanjutan. Paling tidak untuk melegakan diri bahwa dengan PWK saya bisa berbuat sesuatu untuk warga kota dan wilayah.[Risfan Munir]

No comments:

Post a Comment