Monday, March 21, 2011

Penanganan Transportasi Ibukota

Transportasi ibukota ini tampaknya puncak kemacetannya sudah lebih cepat dari perkiraan macet total tahun 2014.

Pelajaran PWK yang saya pahami dulu ya adanya saling keterkaitan antara "penyebaran kegiatan" (pengembangan wilayah, struktur kota, land use), "sistem jaringan prasarana" dan "sistem sarana angkutan"nya.

Ketimpangan pembangunan antar daerah, dan keterpusatan pertumbuhan nasional di sekitar metropolitan, terutama Jabodetabek, dengan sendirinya mendorong terjadinya kepadatan lalu lintas. Kian terpusat kegiatannya, kian tinggi risiko kemacetannya.

Dengan demikian, pemecahan masalah kemacetan lalu lintas Jakarta dan sekitar yang mendekati titik macet total ini dalam disiplin PWK dilihat dalam: jangka panjang, menengah, pendek.
Dengan solusi: (1) Non-transportasi; (2)Transportasi: (2a) Sistem jaringan prasarana; (2b) Sistem Angkutan.

Jangka panjang Nasional dengan pemerataan - perjalanannya tampaknya masih panjang, karena pilihan pada "pertumbuhan ekonomi" sulit dihindari, sehingga kalau toh pemerataan ya ke sekitar. Penyebaran lebih luas masih di wilayah barat dan mengarah kepada konektivitas ke Jakarta lagi.
Opsi kepada pembangunan armada transportasi laut untuk wilayah timur, yang selama ini jadi kendala utama pertumbuhan kegiatan ekonomi wilayah tsb masih belum jadi alternatif.

Sementara otonomi daerah yang diharapkan menjadi stimulan pertumbuhan daerah untuk mendorong pemerataan juga belum menunjukkan tanda kesana.

Dengan asumsi tersebut dapat dibayangkan beban kegiatan Jakarta dan sekitar masih akan tinggi untuk jangka menengah bahkan panjang. Pembangunan jalan tol Jkt-Bdg juga kian meningkatkan arus kendaraan antar kedua kota.

Kalau begitu, selanjutnya bertumpu pada penanganan dalam skala wilayah sekitar. Dalam hal ini ada kenyataan bahwa tempat kerja, terutama sektor jasa yang menjadi magnet Jakarta sulit ditandingi pusat2 yang dibangun di sekitarnya. Tak seperti diimajinasikan perancangnya, kota mandiri umumnya lebih merupakan dormitory towns atau satelit cities bagi Jakarta. Dengan kata lain lalu lintas harian ke/di Jakarta konsisten meningkat.

Wilayah Jabodetabek kian menyatu, sekat fisik antar kota/daerah ini kian menipis. Namun tidak demikian dengan hubungan antar Pemda nya. Kerjasama antar Pemda masih banyak kendalanya. Hal ini juga dipersulit dengan pandangan umum (termasuk dr Pusat) bahwa seolah masalah itu masalahnya kota Jakarta sendiri, disebabkan oleh Jakarta, tanggung-jawab DKI sendiri. Mungkin tak seekstrem itu, tapi tetap kerjasama dari pemda sekitar dan beberapa kementerian dalam banyak kasus penanganan transportasi ibukota ini sangat terbatas.

Bicara pengaturan transportasi melalui sebaran pusat, landuse; dan sistem jaringan prasarana (jalan); dan sistem angkutan - tampak bahwa krjasama tersebut sangat jauh dari harapan, jalan sendiri-sendiri, bahkan menambah persoalan. Dibangunnya jalan untuk atasi masalah kemacetan, justru mendorong pertumbuhan ekstensif (sprawl), menimbulkan masalah masalah baru. Sementara itu jumlah kendaraan pribadi meningkat terus, sedang alternatif ke angkutan publik tak kunjung membaik.

Kurangnya dukungan kerjasama, keterbukaan untuk mengelola transportasi sebagai sistem terintegrasi antar daerah, antar instansi ini membuat berbagai upaya terkesan sepotong-sepotong. DKI seperti harus menangani sendiri.
Sementara itu dalam "kepanikan", DKI juga jadi menanganinya secara per urusan (sektoral), sehing terkesan kurang terpadu, antara urusan pembangunan/peningkatan jalan, dengan urusan sistem angkutan perhubungannya.
Pembangunan jalan, dengan lahan yang kian terbatas dilakukan sepenggal2 seperti bikin sudetan aliran yg macet, yang hanya memindahkan kemacetan saja. Membangun jalan lingkar lagi, sudah masuk wilayah administrasi tetangga, atau diambil alih pusat.

Sebetulnya kalau peluang bangun jalan juga terbatas, tak efektif, mengapa tidak konsisten memfokuskan anggaran untuk membangun sistem angkutan umum yang mencakup semua area dan nyaman, dengan pilihan-pilihan moda, sehingga mendorong transformasi (revolusi?) penggunaan angkutan publik.

Ibukota ada di jakarta, juga jadi kontributor masalah, karena itu sudah sewajarnya Pusat juga berkontribusi memecahkan masyalah, terutama yang menyangkut kerjasama antar daerah di jabodetabek. Melibatkan tidak hanya instansi terkait langsung transportasi, tapi juga seperti Kemenkeu yang menyangkut kemudahan prosedur kerjasama investasi antar daerah, kemudahan kepabeanan, perpajakan sarana angkutan publik yang diimpor.

Kesimpulan - kemacetan Jakarta dan sekitar perlu diatasi dengan kombinasi penyebaran kegiatan, land-use, peningkatan keandalan sistem jaringan prasarana; dan peningkatan kapasitas dan daya tarik angkutan umum. Serta melihat masalahnya sebagai masalah semua daerah jabodetabek; serta masalah Pusat juga, sehingga kontribusi instansi pusat juga mesti diperjelas.
Semoga bermanfaat.(Risfan Munir)

Powered by Telkomsel BlackBerry®

No comments:

Post a Comment