Mengapa beberapa isu perencanaan akhirnya menjadi Kebijakan Pembangunan? Mengapa jadi kebijakan tapi tidak dilaksanakan? Mengapa yang lain hanya berhenti pada karya tulis saja?
Menurut Parsons (2005), tahapannya:
(ISU » Opini Publik » Agenda Kebijakan » KEBIJAKAN)
ISU ialah persoalan yang permasalahkan. Misal: merokok dianggap mengganggu kesehatan publik. Lalu ada yang mengangkat, mempromosikan isu ini.
Muncul pro vs kontra, terjadi debat » artinya jadi Opini Publik (OP).
Kalau debat, diskursus, kampanye berlanjut, menunjukkan jumlah massa dan kekuatan (elit, dana, power) maka bisa kembang jadi » Agenda Kebijakan (AK) yg punya nilai untuk dibahas politikus, petinggi institusi publik, legislatif. Dan, kalau menang/goal akan jadi KEBIJAKAN.
Kasus rokok, diperjuangkan, diwacanakan oleh beberapa dokter, melalui media massa, talk-show, dst. sempat beberapa kali masuk RUU, tapi akhirnya 1/2 berhasil, jadi perda anti rokok. Polemik tentu muncul karena ada kepentingan ribuan petani tembakau; dari pabrik rokok.
Dalam perencanaan wilayah, dulu "think-thank" dari Planologi ITB memperjuangkan konsep perencanaan wilayah. Ini mendapat response dari Dr. Poernomosidhi, yang antusias dgn masalah "pemerataan pembangunan", bersamaan dengan beliau yang dulunya Deputi Regional Bappenas, lalu menjadi Dirjen Bina Marga, lalu Menteri PU yang juga mengembangkan Transmigrasi. Maka akhirnya menjadi Kebijakan Pengembangan Wilayah Nasional. Yang dilaksanakan dengan investasi berbagai prasarana (jalan raya) wilayah dan prasarana kota (NUDS, P3KT, dst).
Tantangan ke depan, apa ISU perkotaan/ wilayah yang akan diusung Planner, untuk bisa jadi OP, AK, dan akhirnya jadi Kebijakan dalam PWK? Tentu dengan cara Orde Reformasi, yang beda caranya dengan era Orba (Risfan Munir)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
LOGFRAME: PEMBANGUNAN JALAN REGIONAL
4 years ago
No comments:
Post a Comment