Menarik alasan Pak Djarot memilih pendekatan fenomenologi, belajar dari best-practice, karena "semakin tidak percaya" pada negara (system?). Termasuk juga tak percaya pada "keahlian", merefer pada BSP.
1. Repotnya skala PWK dan Arsitektur Kota ada dalam pusaraan sistem itu. Karena itu untuk mencoba memahami PWK dan berpikir proporsional saya membayangkan adanya 3x3x3 unsur kombinasi, yaitu:
- skala: site, urban, regional
- aspek: fisik/lingkungan, sosial, ekonomi
- aktor: masyarakat, pemerintah, swasta
Jadi memang ada risiko 27 konflik. Apalagi pemerintah saja ada beberapa sektor, provinsi, kab/kota.
2. Dengan realita itu saya melihat "rencana" sebagai produk "public policy", sehingga agak memaklumi kalau selalu ada "pertarungan kepentingan" dalam menggoalkannya jadi peraaturan, maklum kalau memaang harus ada advokasi dari "pressure group". Dan, ada yg kalah atau menang. Maklum kalau 20th itu mungkin terlalu panjang dibanding umur rezim politik.
3. Kalau pak Djarot memilih melihat secara fenomenologis, memahami dinamika prilaku nyata, empiris. Saya menggunakan "appreciative inquiry" yang bertolak dari strength, potensi, sukses yang ada, daripada menggali persoalan yang itu-itu juga dan akar berakar. Pendekatan apresiatif yaang tadinya diterapkan dalam skala organisasi, komunitas, ternyata juga untuk kota. (Saya tulis di buku Manajemen Apresiatif).
Apapun yang penting maju terus toh. Sejalan dengan prinsip "kaizen" atau perbaikan berkelanjutaan.
Salam apresiatif,
Risfan Munir
www.manajemenapresiatif.blogspot.com
Tweet @masrisfan
Powered by Telkomsel BlackBerry®
LOGFRAME: PEMBANGUNAN JALAN REGIONAL
4 years ago
No comments:
Post a Comment