Terpikir oleh saya bhw pada umumnya semua produk perencanaan fisik kok berujung pada pertanyaan Bu Yati:
"Siapa yg ngawasin? Bisakah menegur atau beri sangsi?" Juga, siapa yang melaksanakan?
Soal pedestrian, kalau menurut saya, perlu dipiliah: (1) di lingkungan ramai aktivitas (CBD, sekitar terminal, RS, sekolah) ; (2) di lingkungan sepi.
Untuk lingkungan sepi (2), dgn kebijakan, standar dan panduan yang applicable, selain pemda, warga juga bisa melakukan perbaikan, pemeliharaan, pengawasan. Pemda stimulan saja. Di kampung miskin saja bisa kok.
Untuk lingkungan ramai (1), disini trotoar bisa jadi "medan pertempuran" orang cari makan. Disini konflik antara ide "perencana keindahan" vs "perencana ekonomi rakyat" bisa terjadi.
Pemda kalau intervensi juga perlu berfikir jangka pendek dan panjang. Bisa dikerahkan Tibum untuk waktu ttt, tapi namanya orang "cari makan", PKL akan datang dan datang lagi. Bisa bersih di tempat ttt saja (sesuai jumlah dan kualitas Tibum), tp sulit di semua tempat sepanjang waktu.
Solusi memberi "lokasi lain" perlu pendekatan yg sangat acceptable (partisipatif? memanusiakan?), tidak minta down-payment dst. Juga mendidik publik supaya mau berbelanja di lokasi yg disediakan.
Tapi kalau jumlah urbanisan nambah terus, kemiskinan masih membayangi, kemungkinan PKL baru juga datang lagi. Kisah berulang sebagai romantika urbanisasi.
Ha ha , kok seperti kisah kehidupan umumnya, masalah datang, pergi, dan datang lagi. Mungkin ini beda antara "merencana ruang publik" dengan "merencana rumah pribadi". (Salam apresiatif, Risfan Munir)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
LOGFRAME: PEMBANGUNAN JALAN REGIONAL
4 years ago
No comments:
Post a Comment