Ini juga perlu dilihat dalam konteks, yang dipahami dengan baik oleh Walikotanya. Kota Solo lahnnya sempit, sementara urban area nya sudah mencakup Kab Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar. Jadi wilayah administrasi Kota Solo terbatas ditengah, kepadatan penduduk tinggi, membangun pabrik tak bisa.
Beruntung bahwa budaya dan tradisi masyarakat sangat kuat, potensial. Sehingga andalan ekonomi betul-betul UKM yang sebagian besar informal, yang besar terbatas hotel-hotel dan sedikit industri lama. Tak heran kalau visi yang dipilih ialah, "Eco-cultural City".
Dengan konteks sosial ekonomi tsb, pendekatan "nguwongke" sangat dibutuhkan. Setiap rencana, kegiatan diusahakan berasal dari, atau disepakati oleh masyarakat. Kalau masyarakat belum tahu, diberikan edukasi lebih dulu. Apalagi kota yang terkenal "kalem" ini ternyata menyimpan potensi konflik sosial, terbukti sering "meledak" menjadi konflik fisik.
Dalam hal penataan trotoar (pedestrian), lingkungan pasar yang kumuh, relokasi, tampak pendekatan "nguwongke" yang diterapkan jitu. Relatif tak ada keributan dalam prosesnya. Setiap rencana, kegiatan selain pertimbangan untung/rugi, juga ada kriteria "selaras dengan aspirasi masyarakat", serta "proses dan kelembagaannya tidak konflik atau mengganggu lembaga/pranata masyarakat yang ada. Contoh: demi menjaga eksistensi ekonomi rakyat, sampai saat ini izin jaringan "mini-mart" sangat dibatasi.
Oleh karena itu Otonomi Daerah juga diefektifkan oleh Pemkot Solo. Program Nasional tak serta-merta diterima, tapi mereka kaji dulu acceptablity, dan keserasiannya dengan pranata dan kegiatan masyarakat, agar tak berdampak negatif terhadap pranata keberdayaan masyarakat yang ada. Sinkronisasi dengan program lainnya, dst.
Proses yang terkesan lama (alon-alon) ini seringkali membuat kementerian, program sektor tak sabar, karena kendala proses anggaran dan pelaksanaan proyek. Tapi apa mau dikata, dengan pendekatan "nguwongke" (menempatkan masyarakat sebagai mitra itu terbukti efektif. Membuat masyarakat menerima relokasi, pembersihan trotoar dan lainnya. Dan, sukses.
Sementara kota-kota lain yang pendekatannya sepihak, menggusur, justru membuat pemilik kios pasar tradisional menjadi PKL karena tak mampu bayar DP. Kegiatan "penertiban" menjadi aktivitas "kejar, peras" (kadang dikejar, kadang dipungut retribusinya). Dan, masyarakat tidak "merasa memiliki", sebaliknya kian sinis kepada Pemda.
Di luar Jakarta, mungkin Solo yang terbanyak menggelar festival budaya berskala international, termasuk Habitat, Keroncong, dst. Kota Bandung yang katanya Parijs van Java tampak kalah jauh dengan Solo dalam berbagai hal. Semoga kian banyak kota yang membaik di era otonomi daerah ini, melalui pendekatan perencanaan dan pembangunan yang partisipatif, inklusif, community driven, dan dinamika selanjutnya. (Salam apresiatif,
Risfan Munir, twit @masrisfan)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
No comments:
Post a Comment