Saturday, November 12, 2011

Pendekatan Nguwongke

Kata "nguwongke" (memanusiakan)berkait dengan "melu handarbeni" (rasa memiliki). Sebetulnya keduanya norma umum dalam budaya Jawa. Tapi Pemkot Solo mengangkatnya dan menerapkannya secara pas dalam pembangunan kota.

Ini juga perlu dilihat dalam konteks, yang dipahami dengan baik oleh Walikotanya. Kota Solo lahnnya sempit, sementara urban area nya sudah mencakup Kab Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar. Jadi wilayah administrasi Kota Solo terbatas ditengah, kepadatan penduduk tinggi, membangun pabrik tak bisa.
Beruntung bahwa budaya dan tradisi masyarakat sangat kuat, potensial. Sehingga andalan ekonomi betul-betul UKM yang sebagian besar informal, yang besar terbatas hotel-hotel dan sedikit industri lama. Tak heran kalau visi yang dipilih ialah, "Eco-cultural City".

Dengan konteks sosial ekonomi tsb, pendekatan "nguwongke" sangat dibutuhkan. Setiap rencana, kegiatan diusahakan berasal dari, atau disepakati oleh masyarakat. Kalau masyarakat belum tahu, diberikan edukasi lebih dulu. Apalagi kota yang terkenal "kalem" ini ternyata menyimpan potensi konflik sosial, terbukti sering "meledak" menjadi konflik fisik.

Dalam hal penataan trotoar (pedestrian), lingkungan pasar yang kumuh, relokasi, tampak pendekatan "nguwongke" yang diterapkan jitu. Relatif tak ada keributan dalam prosesnya. Setiap rencana, kegiatan selain pertimbangan untung/rugi, juga ada kriteria "selaras dengan aspirasi masyarakat", serta "proses dan kelembagaannya tidak konflik atau mengganggu lembaga/pranata masyarakat yang ada. Contoh: demi menjaga eksistensi ekonomi rakyat, sampai saat ini izin jaringan "mini-mart" sangat dibatasi.

Oleh karena itu Otonomi Daerah juga diefektifkan oleh Pemkot Solo. Program Nasional tak serta-merta diterima, tapi mereka kaji dulu acceptablity, dan keserasiannya dengan pranata dan kegiatan masyarakat, agar tak berdampak negatif terhadap pranata keberdayaan masyarakat yang ada. Sinkronisasi dengan program lainnya, dst.
Proses yang terkesan lama (alon-alon) ini seringkali membuat kementerian, program sektor tak sabar, karena kendala proses anggaran dan pelaksanaan proyek. Tapi apa mau dikata, dengan pendekatan "nguwongke" (menempatkan masyarakat sebagai mitra itu terbukti efektif. Membuat masyarakat menerima relokasi, pembersihan trotoar dan lainnya. Dan, sukses.
Sementara kota-kota lain yang pendekatannya sepihak, menggusur, justru membuat pemilik kios pasar tradisional menjadi PKL karena tak mampu bayar DP. Kegiatan "penertiban" menjadi aktivitas "kejar, peras" (kadang dikejar, kadang dipungut retribusinya). Dan, masyarakat tidak "merasa memiliki", sebaliknya kian sinis kepada Pemda.

Di luar Jakarta, mungkin Solo yang terbanyak menggelar festival budaya berskala international, termasuk Habitat, Keroncong, dst. Kota Bandung yang katanya Parijs van Java tampak kalah jauh dengan Solo dalam berbagai hal. Semoga kian banyak kota yang membaik di era otonomi daerah ini, melalui pendekatan perencanaan dan pembangunan yang partisipatif, inklusif, community driven, dan dinamika selanjutnya. (Salam apresiatif,
Risfan Munir, twit @masrisfan)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Perencanaan Pedestrian dan Pengendaliannya

Terpikir oleh saya bhw pada umumnya semua produk perencanaan fisik kok berujung pada pertanyaan Bu Yati:
"Siapa yg ngawasin? Bisakah menegur atau beri sangsi?" Juga, siapa yang melaksanakan?

Soal pedestrian, kalau menurut saya, perlu dipiliah: (1) di lingkungan ramai aktivitas (CBD, sekitar terminal, RS, sekolah) ; (2) di lingkungan sepi.

Untuk lingkungan sepi (2), dgn kebijakan, standar dan panduan yang applicable, selain pemda, warga juga bisa melakukan perbaikan, pemeliharaan, pengawasan. Pemda stimulan saja. Di kampung miskin saja bisa kok.

Untuk lingkungan ramai (1), disini trotoar bisa jadi "medan pertempuran" orang cari makan. Disini konflik antara ide "perencana keindahan" vs "perencana ekonomi rakyat" bisa terjadi.

Pemda kalau intervensi juga perlu berfikir jangka pendek dan panjang. Bisa dikerahkan Tibum untuk waktu ttt, tapi namanya orang "cari makan", PKL akan datang dan datang lagi. Bisa bersih di tempat ttt saja (sesuai jumlah dan kualitas Tibum), tp sulit di semua tempat sepanjang waktu.

Solusi memberi "lokasi lain" perlu pendekatan yg sangat acceptable (partisipatif? memanusiakan?), tidak minta down-payment dst. Juga mendidik publik supaya mau berbelanja di lokasi yg disediakan.
Tapi kalau jumlah urbanisan nambah terus, kemiskinan masih membayangi, kemungkinan PKL baru juga datang lagi. Kisah berulang sebagai romantika urbanisasi.

Ha ha , kok seperti kisah kehidupan umumnya, masalah datang, pergi, dan datang lagi. Mungkin ini beda antara "merencana ruang publik" dengan "merencana rumah pribadi". (Salam apresiatif, Risfan Munir)

Powered by Telkomsel BlackBerry®

Sunday, November 6, 2011

Fenomenologi dan Appreciative Inquiry

Menarik alasan Pak Djarot memilih pendekatan fenomenologi, belajar dari best-practice, karena "semakin tidak percaya" pada negara (system?). Termasuk juga tak percaya pada "keahlian", merefer pada BSP.

1. Repotnya skala PWK dan Arsitektur Kota ada dalam pusaraan sistem itu. Karena itu untuk mencoba memahami PWK dan berpikir proporsional saya membayangkan adanya 3x3x3 unsur kombinasi, yaitu:
- skala: site, urban, regional
- aspek: fisik/lingkungan, sosial, ekonomi
- aktor: masyarakat, pemerintah, swasta
Jadi memang ada risiko 27 konflik. Apalagi pemerintah saja ada beberapa sektor, provinsi, kab/kota.

2. Dengan realita itu saya melihat "rencana" sebagai produk "public policy", sehingga agak memaklumi kalau selalu ada "pertarungan kepentingan" dalam menggoalkannya jadi peraaturan, maklum kalau memaang harus ada advokasi dari "pressure group". Dan, ada yg kalah atau menang. Maklum kalau 20th itu mungkin terlalu panjang dibanding umur rezim politik.

3. Kalau pak Djarot memilih melihat secara fenomenologis, memahami dinamika prilaku nyata, empiris. Saya menggunakan "appreciative inquiry" yang bertolak dari strength, potensi, sukses yang ada, daripada menggali persoalan yang itu-itu juga dan akar berakar. Pendekatan apresiatif yaang tadinya diterapkan dalam skala organisasi, komunitas, ternyata juga untuk kota. (Saya tulis di buku Manajemen Apresiatif).

Apapun yang penting maju terus toh. Sejalan dengan prinsip "kaizen" atau perbaikan berkelanjutaan.

Salam apresiatif,
Risfan Munir
www.manajemenapresiatif.blogspot.com
Tweet @masrisfan


Powered by Telkomsel BlackBerry®