Rekans, menurut saya ada masalah "tanggung-jawab profesi", ada soal "kewenangan seorang (pekerja) perencana".
1. Pemerintah bisa dinilai "plin-plan" soal tata ruang. Itu opini biasa. RTRW adalah produk kebijakan publik, seperti "policy" apapun selalu bisa dilihat oleh kelompok yg bertentangan sbg "pro-con", plin-plan.
2. Peran Sarjana Perencana? Terhadap produk hukum, suatu saat bisa saja terbelah sebagai "perencana" (pemerintah), sebagai jaksa (penggugat), sebagai pembela, perencana developer, sebagai saksi ahli. Sebagaimana Sarjana Hukum, pembela terdakwa bukanlah pengkhianat profesi hukum. Begitukah?
Ukurannya: kaidah teknis, kriteria proses dan standar teknis yang dipatuhi. Tapi kalau soal judgement, keberpihakan, ini sulit "dihakimi". (Anda bias ke growth vs social? Dua2nya tak bisa dinilai sbg benar/salah.
3. Sebagai "fasilitator"? Pekerjaan saya saat ini banyak sebagai fasilitator. Dalam skala teknis atau tahap tenokratis, partisipatif: Oke. Tapi tahap politis, kalau fasilitasi sampai melewati keputusan bupati/Walikota, melewati Dewan. Emangnya ada manusia bisa "memfasilitasi proses politis seperti itu"? Emangnya nunun, alin, atau Supermanto atau Superwati?
Lagipula sebagai profesional (pekerja) secara legal anda bekerja pada siapa?
4. Perlu dibedakan antara: "tanggung-jawab (kolektif) profesi" dgn "peran individu yg bekerja". Sebagai anggota profesi kalangan dokter juga perlu bicara soal kesehatan masyarakat, biaya esehatan dst. Tapi sebagai "individu" anda: dokter thd pasien, atau pekerja sosial, Kepala dinas kesehatan, penilik kesehatan. Masing-masing tgjwb pada lingkup "tupoksi"nya.
Insinyur Sipil, sebagai asosiasi bisa peduli semua hal konstruksi. Tapi kalau bekerja jelas ada pemisahan wewenang n tgjawab: pada konsultan? Ahli pd kontraktor? Pada manajemen kostruksi? Pada pengawasan? Bahkan masing-masing bisa mengeluarkan "judgement, opini beda".
5. Kementerian perencana tata ruang? Saya pikir sulit. Analog: ada Kementerian "kesehatan" (sektor kehidupan), bukan "kementerian kedokteran" (profesi, pekerjaan).
Ada Kementerian Lingkungan Hidup, juga tak menjamin aspek lingkungan hidup selalu menang. Tak ada jaminan. Lagi-lagi proses politik.
6. Mas Dwiagoes sering mengatakan: perencana jangan cuma jadi perencana "hit n run". Itu betul dalam kontek profesi (kolektif). Tapi sebagai "profesional (pekerja)", Anda bekerja sesuai TOR. Kalau Anda dikontrak sebagai konsultan RTRW Balikpapan, pontianak, misalnya, apa ya harus ngawal sampai setiap ruang diisi? Artinya 20 tahun?
Anda bisa jadi pendeta, ustad, bikshu yg berceramah, dan tak harus menjamin jamaah Anda jadi lurus terus. Ada saja yg masih nyuri, narkoba, selingkuh. Dan, anda tidak harus dibilang gagal.
Tapi sebagai kelompok pendeta, ulama, agamawan memang perlu memikirkannya secara kolektif dan melakukan upaya2 perbaikan.
7. Spesialisasi perencana "kawasan pesisir", "zonasi" dst bisa saja. Tapi Anda ini bekerja di pemerintahan atau konsultan? Kalau sbg konsultan, itu makin "mempersempit ruang gerak". Dan kalau makin mempersempit yg sudah sempit ini, feeling saya profesi ini akan ditinggalkan. Analog, dokter umum juga selalu layak jadi rujukan kok.
Kenyataannya, pekerjaan tata ruang itu relatif sedikit. Sebaliknya, malah saya lihat "potensi keahlian PWK" sebagai "development planner" cenderung lebih luas dan berkembang.
Profesi "perencana tata ruang" kalau di daerah paling cuma jadi Kasi Tata Ruang (tak banyak Dinas Tata Ruang) atau Kabid Fispra (tak harus PL pula). "Perencana Wilayah dan Kota" cakupannya lebih luas, cakupan berpikirnya ala Ka. Bappeda, Sekda.
Konsultan pun banyak yang menyusun RPJPD, RPJM, Renstra SKPD, Renja dst. Rencana pengembangan (komprehensif) kawasan. Juga Monev pembangunan, dst. Tidak melulu tata ruang. Mungkin alumni ITB, ITS memang bias ke tata-ruang. Tapi teman-teman Undip, UGM, IPB (pengembangan wilayah, pedesaan), dst, kayaknya lebih kopmprehensif/longgar mengartikan PWK.
Saya pikir profesi memang mengacu ke bidang (sarjana PWK), bukan ke produk (penyusun RTRW). Analog, profesi "sarjana ekonomi" bukan "sarjana feasibility study". Seorang SE bisa jadi perencana ekonomi, analis ekonomi, evaluator ekonomi, dst.
Kesimpulan saya, dudukkan profesi pada porsinya yang wajar (seperti Ir Sipil, SH, dr, SE, geolog, anthropolog, sosiolog, pendeta, jangan sbg Suparman/wati). Semua profesi ada "tujuan dan boundary"nya.
Bedakan "tanggung jawab kolektif profesi" dgn "tanggungjawab individu (pekerja) perencana" (yg terakhir ya sesuai TOR).
Memfasilitasi proses politik dgn Dewan adalah "pekerjaan Suparman" (ingat Century, GS BI, dst), juga koordinasi antar kementerian (kalau Presiden aja gak bisa) juga "pekerjaan Suparwati (nunun, alin, dst)". Tidak realistis sebagai pekerjaan Planner (anggota IAP). Kalau "fasilitator teknis, partisipasi masyarakat" dalam penyusunan rencana", okelah.
Kembali, "pemerintah dinilai plin-plan". Ya, risiko pemerintah selalu menghadapi "pro-con". Niat baik Obama dgn "jaminan kesehatan" juga diserang habis oleh dewan/senat pro kapital.
Posisi pemerintah, tak selalu harus jadi posisi Planner toh. Karena Pemerintah bisa kopmpromis untuk tujuan politik.
Planner bisa pro Pem, LSM, masyrakat, developer. Dasarnya harus kaidah "NSPK profesi" yg disepakati. Ada dokter, ada dukun (penyembuh tradisional), ada praktisi para-medis, kesmas, tapi IDI punya NSPK untuk menarik garis wilayah keprofesian dokter. Begitu juga profesi advokat, hakim, jaksa, sama-sama SH yg syah, tapi role-play nya beda.(Risfan Munir, alumni Teknik Planologi, ITB)
No comments:
Post a Comment