Kembali ke soal "efektivitas RTR", saya berpikir bahwa dunia perencanaan TR ini sedang memasuki paradigma baru. Dulu produk RTR terpusat, dari DTKTD. Dan, ada jaminan anggaran investasi prasarana utama yg besar. RTR bisa diasumsikan langsung dilaksanakan oleh Cipta Karya dan Bina Marga (apalagi dulu transmigrasi juga masuk). Pelaksanaan komponen utama kota/wilayah bisa diarahkan darisitu.
Dunia berubah, dana pembangunan Pemerintah terbatas. RTR tidak otomatis bisa dilaksanakan oleh Pemerintah dengan pembabgunan prasarana utama. Pelaksanaan diserahkan ke aktor pembangunan lain. Pemerintah regulator saja. Untuk ini, kemajuan layak dicatat munculnya UUPR dan PP nya.
Sementara itu ada otonomi daerah. Penyusunan RTR pun tidak lagi oleh instansi spt DTKTD atau Bangda, tapi harus oleh daerah. Sehingga aspek kapasitas dan kemampuan daerah menentukan.
Ada tuntutan demokratisasi proses perencanaan. Dan, ini membawa konsekuensi dimana "rancangan Perencana" menjadi "input" saja. Karena yang memutuskan adalah "proses partisipasi masyarakat" dan "dialog Dewan dgn Eksekutif".
Implikasi bagi Pekerjaan Perencana. Kalau dulu konsultan misalnya, bersama bouwheer dan instansi terkait, bisa membahas "murni teknis", sehingga "tanggung-jawab ilmiah" jelas.
Sekarang, kejelasan "tanggung-jawab ilmiah" itu hanya bisa jelas di "tahap teknokratis", mungkin juga "tahap partisipatis" walau disini akomodasi juga tak bisa dihindarkan. Tapi pada tahap politis", penyepakatan antara "KDH dgn Dewan", antar instansi sektoral, antara "Pemda dgn Aktor besar", - mungkin terlalu berlebihan kalau dibebankan tgjwabnya pada kemampuan seorang atau sekelompok Planner. Baik soal kesepakatan substansi juga waktunya.
Ada yang optimis mengusulkan agar Planner jadi "fasilitator". Saya setuju sebagai fasilitator "tahap teknokratis" dan mungkin "tahap partisipatif". Itupun perlu jam terbang dan pelatihan khusus. Tapi kalau jadi fasilitator "tahap politis", saya kira yang mampu "menjamin hasil proses politis" di negeri ini cuma orang sekaliber "penghuni cipinang dan kelapa dua."
Pemerintah sendiri, kelihatannya agak kewalahan dengan proses pengesyahan RTRW yang waktunya sulit diprediksi, karena "proses politis" memang mestinya juga bukan pemerintah yg menentukan waktunya. Para aktor, investor, instansi sektoral mulai banyak teriak "proses pengesyahan Perda tata ruang kelamaan, membuat ketidak-pastian." Sehingga Pemerintah juga mulai menyusun Rencana Kawasan-kawasan nya sendiri (diluar RTRW reguler?) - spt saya pahami dari penyataan di Investor daily - karena proses pembangunan harus merespons kecepatan kebutuhan.
IMPLIKASI PROFESI:
Implikasi kpd Profesi Perencanaan (tata ruang). Kita memang sudah maju ke tahap paradigma "Politik Penataan Ruang", beyond paradigma "Teknik Penataan Ruang."
Menggunakan istilah "scaling up" dan "scaling deep".
Secara individu, Planolog tetap perlu menguatkan kemampuan teknis penataan ruang yang berkembang, dengan GIS dst, ketajaman analisis 3EL (ecology, economic, equality, liveability), plus penguasaan teknik sebagai "fasilitator, komunikator", stakeholders arranger (?), dst.
Tapi tahu dirilah, keputusan politik itu hanya "penghuni cipinang dan kelapa dua" yang bisa jamin.
Berprofesi seperti SE gitu loh, target pertumbuhan 6.5% tak tercapai gak apa-apa, buat analisisnya. Buat kesepakatan baru.
Gak usah "playing God" dgn obsesi menertibkan semua instansi pemerintah, menertibkan semua konglomerat, mau menertibkan jutaan PKL. Tapi tetap bisa memberi arahan keseimbangan 3EL secara dinamis. Ini yang susah (enak ngomongnya he he). Tapi memang harus terus dicari optimalisasinya.
Karena itu istilah "open-ended" dari Pak Manu, atau istilah "rencana sebagai sarana komunikasi" seperti kata Pak BSP layak dibahas terus.
Kata Jenderal McArthur kepada ahli strateginya:"Buatlah 3 alternatif strategi, (dgn itu) saya akan buat dan pakai yg ke-4." Keputusan memang kewenangan Pimpinan (politis)? [Risfan Munir, Alumni Teknik Planologi Institut Teknologi Bandung]
LOGFRAME: PEMBANGUNAN JALAN REGIONAL
4 years ago
No comments:
Post a Comment