Saya mencoba memahami (pandangan pak BSP) yang melihat perencanaan sebagai "proses komunikas" dan rencana sebagai kesepakatan yang dinamis.
Walaupun ada UUPR, PP15, UUPemerintahan Daerah, UULH, perlu disadari bahwa pemberlakuan hukum tetap lewat proses hukum. Tak bisa kita awam membaca pasal, profesional judgement pun, terus menghakimi. Ada proses pengadilan, praduga tak bersalah yg hasilnya bisa "menang atau kalah".
Dari "klipping" yg dikutip, tampaknya developer secara hukum tidak salah, karena mengikuti KDB (?) Perda RTR lama, sementara RTRW baru memang belum disyahkan (?).
Mencoba memahami rencana sebagai kesepakatan. Memang, secara politis tiap 5th ada pergantian KDH, dan DPRD yang kalau keduanya sepakat bisa mereview dan merevisi Rencana Jangka Panjang. UU Pemerintahan Daerah memberi otonomi luas.
Disamping itu, secara teknokratis, zaman sekarang ini Proyeksi apapun bisa meleset. Proyeksi ekonomi meset terus asumsi dan hasilnya. Akibatnya proyeksi kegiatan ekonomi kota juga sulit dipegang 100%, terutama perdagangan dan jasa di perkotaan, sulit diramal jenis dan sebarannya. Bagaimana pula memproyeksikan untuk 20-25 tahun. Maka pengertian "dinamis" ini mungkin juga menuntut kedinamisan "status hukum peruntukan lahan". Seperti dulu ada wacana Tarudin (tata ruang dinamis). Dari sisi teknokratis ini tampak masuk akal pandangan Pak BSP yang melihat "produk rencana" sebagai kesepakatan multi-stakeholders, bukan 2 kutub "pemerintah vs yg diperintah".
Saya sendiri melihat bahwa profesi atau kesarjanaan Planologi/PWK sebagai bidang wilayah dan kota sebagai bidang yang luas. Analog dengan Sarjana T Sipil, urusannya konstruksi, bukan "sarjana perancang jembatan". Sarjana Ekonomi, kan bukan "sarjana feasibility study".
Banyak aspek kota dan wilayah yang mesti dipikirkan, membuat RTRW hanya satu subbidang/kegiatan saja.
Lingkup bidang PWK bisa seluas lingkup kerja KaBappeda, Sekda, Deputy Regional, KaBina Program, Pengentasan Kemiskinan wilayah n kota, pembangunan daerah tertinggal, penanggulangan bencana wilayah, manajemen kerjasama antar daerah, dst.
Kembali ke topik. Ada hukum, ada pengadilan. Risikonya bisa menang/kalah. Planolog juga bisa kerja untuk Pemerintah, developer, kelompok masyarakat, yang ketiganya bisa saja beda orientasi, beda ideologi juga, sehingga beda "judgement". Seperti SH, ada yg sebagai jaksa, ada sbg pembela terdakwa, sbg saksi ahli. Boleh toh? Warga bisa dituduh melanggar, tapi pejabat/institusi juga bisa di-PTUN-kan.
Menurut saya ini fenomena-fenomena baru sbg konsekuensi masuk "arena hukum" di era demokrasi ini. Mungkin tak terbayang dalam praktek Orba dan melimpahnya dana untuk pembangunan oleh pemerintah waktu itu. [Risfan Munir, Alumni Teknik Planologi ITB]
LOGFRAME: PEMBANGUNAN JALAN REGIONAL
4 years ago
No comments:
Post a Comment