Antisipasi Climate Change di Delta Mekong. Perencanaan Wilayah dan Kota saat ini mesti mengantisipasi dampak climate change. Terutama untuk pengembangan wilayah aliran sungai. Dpl Perencanaan Wilayah Aliran Sungai mesti mengantisipasi perubahan iklim. Salah satu kasus yang dapat diangkat untuk memahami fenomena ini ialah pengembangan wilayah aliran sungai Mekong, khususnya Mekong Delta. Wilayah Delta Mekong di Viet Nam merupakan muara sungai Mekong yang melintasi beberapa negara. Mekong Delta termasuk the three most vulnarable delta in the world.
Dengan skenario muka air laut naik hingga satu meter, maka 70 persen lahan di Delta Mekong mengalami salinasi; dua juta hektar sawah lenyap; dan banyak desa mengalami banjir serius. Menurut skenario ini periode banjir bisa sampai 4-5 bulan per-tahun (Sumber: Vietnam Economic News, May 25, 2010).
Secara umum kondisi sosial-ekonomi penduduk Mekong Delta akan terkena dampaknya. Menurut Kementerian Pertanian dan Pembangunan Perdesaan, jika tidak ditemukan varietas baru yang lebih toleran terhadap salinasi dan fluktuasi (banjir dan kekeringan) yang tinggi, maka masa depan pertanian kawasan Mekong Delta akan mengalami kesulitan. Bisa terjadi perubahan besar pada permukiman, area perkotaan dan pola pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di Mekong Delta ini. Perubahan ini mempengaruhi sustainable development dari kawasan. Kehidupan 10 juta penduduk dipertaruhkan, karena kawasan Mekong Delta ini merupakan lumbung makan Viet Nam, berkontribusi besar terhadap pendapatan ekspor. Ketahanan pangan bisa terancam.
Untuk mengantisipasi skenario diatas, ada beberapa ide yang diusulkan, yang bisa jadi pelajaran di Indonesia, mengingat kita punya banyak wilayah pertahian dan kota pantai.
Pertama, cari dan kembangkan varietas tanaman, ikan, ternak yang lebih tahan/ toleran terhadap salinasi, masa banjir/kekeringan yang panjang; antisipasi epidemi penyakit akibat banjir; membangun reservoir untuk persediaan air bersih, mengontrol fluktuasi air mencegah banjir di musim hujan, dan kekeringan di musim kemarau; mengkaji ulang rencana tanam dan budidaya aquaculture, serta masa tangkap ikan.
Kedua, penerangan kepada masyarakat agar mereka siap menghadapi risiko terkait climate change. Sehingga masyarakat tidak meremehkan tapi juga tidak panik. Beri petunjuk apa yang mesti dilakukan.
Ketiga, perencanaan tata ruang dan permukiman untuk menghindari kawasan berisiko tinggi, dan pengaturannya agar risiko pada kawasan sedang bisa dikurangi.
Keempat, kerjasama lebih erat dan fokus antar negara, antar provinsi (ada 13 provinsi), yang termasuk wilayah aliran sungai Mekong (Mekong River Commision/MRC) dengan prinsip water equality dan kerja sama dalam pengelolan pantai dan pesisir dengan negara maritim lainnya seperti Indonesia, Philippines, Malaysia. Keempat inisiatif tersebut relevan untuk dipertimbangkan dalam perencanaan wilayah aliran sungai dan pesisir di negara kita untuk mengantisipasi risiko akibat climate change.
Sekali lagi, climate change berdampak besar pada meningginya muka air laut, yang menyebabkan banjir dan salinasi menimpa kawasan pertanian yang luas; di sisi lain lamanya kemarau membuat kekeringan yang panjang. Ini adalah saatnya mempertimbangkan pengaruh climate change terutama pada kawasan pantai/pesisir khususnya di delta/muara dungai. Perencanaan wilayah dan kota pada daerah pesisir dan muara aliran sungai, kota-kota dan permukiman pantai perlu segera mengembangkan pola permukiman, land-use dan pengelolaan lingkungan yang antisipatif terhadap dampak climate change.[Risfan Munir, alumni Institut Teknologi Bandung, ITB]
LOGFRAME: PEMBANGUNAN JALAN REGIONAL
4 years ago
No comments:
Post a Comment