Perencanaan Wilayah Kota menyangkut pengembangan ekonomi lokal dan peningkatan daya saing daerah. Seperti saya kutip dari pakar pemasaran Al-Ries "We live in the battle of perception, not product".(Silahkan baca buku saya "Jurus Menang dalam Karier dan Hidup ala Samurai Sejati"),
Agak berlebihan memang, tapi ya begitulah. Pulau Belitung tidak terbayangkan sebagai DTW sebelum kisah "Laskar Pelangi". Betapa sering kita datang ke satu lokasi "ada gubuk, batu besar, pohon tua". Tak ada kesan apa-apa. Baru setelah disodori kisah ini dulu tempat Sang Tokoh waktu kecil atau waktu dibuang..... Kita jadi antusias. Tapi lalu bagaimana dukungan tangible nya (produk, sarana, prasarana). Tapi kalau tidak diimbangi manajemen yang baik bisa segera merosot, seperti adanya rumor tentang malaria, dst
Budayawan mungkin melihat sebagai produk budaya. Tapi Rhenald Kasali, seperti pada buku yang diceritakan Pak Djarot melihatnya sebagai "knowledge" yang dikembangkan komunitas (organisasi bisnis) yang perlu di"manage".
Dalam bisnis jasa, termasuk pariwisata, dalam starategi pemasarannya dikenal istilah 7P. Kalau untuk produk umumnya 4P (product, price, place, promotion), untuk wisata ditambah 3P (people, process, physical evidence). Jadi yang tangible dan intangible memang dipadukan.
Kalau kembali kepada kasus Jawa Tengah. Saya pikir "kebanggaan akan budaya khas sendiri" memang harus dikaitkan dengan "marketing" juga. Supaya ada alasan juga memadukan "intangible" dan "tangible" asset ekonomi lokal, khususnya ekonomi lokal. Yang terjadi di Jawa Tengah menurut saya baru terbatas mencoba "bangga pada budaya sendiri". Tapi apa manfaatnya, menariknya, kenyamananannya bagi wisatawan, masih "diserahkan ke para wisatawan sendiri".
Sebagai contoh: Kalau menurut statistik wisatawan terbesar adalah dari Asia Timur (Jepang, Taiwan dan lainnya yang tertarik karena Borobudur dan artefak Budha lainnya) tapi hal yang paling nyata soal informasi (rambu, brosur) yang berhuruf kanji sangat terbatas. Ini beda dengan Bali yang sudah lebih biasa berinteraksi dengan wisatawan. Orang Jawa Tengah masih seperti daerah lain masih di level "berusaha bangga", sementara Bali sudah di level "menawarkan paket-paket" sesuai kondisi wisatawan (budget dan length of stay) dari tiap segmen wisatawan.
Sekali lagi, untuk produk apapun tangible/intangible perlu mengaitkan "aset budaya" dengan "kebutuhan pembeli/penikmat" kalau mau dijadikan potensi ekonomi lokal/daerah.
Kesimpulan: dalam Perencanaan Wilayah dan Kota, pengembangan ekonomi lokal termasuk komponen penunjang yang utama, oleh karena itu penetapan core competence dalam pengembangan klaster akan besar perannya. Selanjutnya bisa baca juga di bahasan Ekonomi Perkotaan. Silahkan. [Risfan Munir].
LOGFRAME: PEMBANGUNAN JALAN REGIONAL
4 years ago
No comments:
Post a Comment