Perencanaan wilayah dan kota dikaitkan dengan pengembangan ekonomi lokal, bagi perencananya kadang dirasakan ada “ganjalan”, misalnya soal perdagangan yang dikonotasikan sebagai komersialisasi karya seni. Di kalangan perencana pariwisata, budayawan ini juga merisaukan. Dilematis.
Bagi perencana wilayah dan kota, idealnya karya komunitas dibiarkan saja keaslian karya Asli dari suku Asli tetap asli. Sehingga ritme hidup dia juga tetap asli. Ini harapan wajar. Namun, kalau Anda tahu bahwa karya Asli itu di pasar ternyata harganya mahal dan Anda membiarkan suku Asli itu tidak tahu , apalagi mereka secara ekonomi (IPM) terbatas, butuh tambahan income. Maka membiarkan mereka tidak masuk sistem ekonomi, bisa dibilang tidak fair juga. Dan, praktiknya kebijakan pemerintah (diluar kontrol kita) membuka peluang itu.
Tapi mengajari mereka terjun bebas ke sistem ekonomi memang beresiko: (1) memudarkan keaslian berganti motif komersial; (2) akan memicu eksploitasi, disamping tumbuhnya individualism yang tidak sehat. Untuk inilah maka pendekatan pengembangan ekonomi local melalui “penguatan Cluster”/sentra /kelompok diperlukan agar bargaining position mereka (mikro-kecil) naik, dan ada keseimbangan informasi (harga, kualitas).
Kecuali kalau (red: omongan negarawan ini) negara ini betul2 menganut faham Negara Sejahtera, dan mampu konsisten memberi jaminan sosial yang wajar bagi tiap warganya. Sehinga semua warga bisa berprofesi, berkarya dengan kesejahteraannya dijamin Negara, maka konversi “karya seni menjadi produk UMKM” tak perlu. Kenyataannya, air saja mesti beli, rumah sakit atau sekolah mendiskriminasi orang tak mampu, kan tidak fair kalau seniman, suku Asli, gak boleh jualan karya seninya.
Perencanaan wilayah dan kota dikaitkan dengan perencanaan pariwisata memang jadi harus mempertimbangkan dilemma ini. Saya jadi ingat potongan syair Rendra yang juga mengritik bisnis Pariwisata di satu daerah. Intinya digambarkan seorang wisatawan perempuan bilang ke suaminya, “Well, look John, mereka asli ya. Tanpa baju manjat pohon kelapa. Eksotis ya seperti monyet. Ayo kita foto”. Bagaimana operator pariwisata mengambil keuntungan dari “keaslian” tradisi. Namun sebaliknya, membiarkan mereka tidak monetized juga tidak fair, karena itu peluang adat mendapat keuntungan ekonomi.
Debat "seni untuk seni vs seni bertendens (sekarang komersial)" sepertinya juga abadi. Seingat saya Bagong K (bapaknya Butet dan Jadug) dan Garin Nugroho yang ambil jalan tengah. Mengambangkan yang seni banget (klasik, eksperimental) dan yang pop (komersial?).
Dalam dilemma perencanaan wilayah dan kota dan pengembangan ekonomi lokal ini, yang penting keseimbangan informasi diperjuangkan. Jangan seperti praktik pembangunan kota. Kepada warga pemilik tanah Pemda bilang ini kepentingan umum , tutup mata bahwa begitu prasarana dibangun para pengembang menikmati gain harga tanah puluhan kali. Karena itu menurut saya Planner juga mesti tahu dinamika harga tanah, supaya bisa menjembatani kepentingan masing-masing pihak.
Kembali ke perencanaan wilayah dan kota khususnya aspek supply-chain, idealnya produsen A, B, C, .....tahu di proses X nanti harga jualnya berapa (walau kasar) dan tiap jenjang porsinya berapa, apa kriteria mutunya, sehingga dia bisa menaikkan posisinya. [Risfan Munir, perencana wilayah dan kota, pengembangan ekonomi lokal]
LOGFRAME: PEMBANGUNAN JALAN REGIONAL
4 years ago
No comments:
Post a Comment