Sunday, May 9, 2010

Perencanaan Wilayah Kota: Engineering atau Policy Studi

Refleksi Perencanaan Wilayah Kota kali ini dipicu oleh diskusi dengan Pak Abiyoso, yang mengaharapkan peran perencana wilayah dan kota agar lebih leading dalam engineering dan mengarahkan pembangunan wilayah.

Pertama, saya salut atas kepercayaan kepada profesi PWK. Pada saat wacana PWK sudah menyempit menjadi perangkat konservasi lingkungan, atau acuan pengurusan IMB semata. Ada yang percaya dan optimis pada wacana PWK sebagai pemberi arah pembangunan wilayah, pemerataan antar wilayah, seperti era Pak Poernomosidhi dan Pak Sugiyanto S. Ini tentu mendukung Buku 3 RPJM Nasional.
Kedua, namun bagaimanapun semangatnya, sebagai ilmu PWK juga punya basic concept dan teori-teori yang mendasarinya, seperti Teori Lokasi dan Teori Pertumbuhan, yang kaidahnya tidak bisa dilanggar atau dipaksa. Seperti “gravitasi bumi”, kekuatan itu bisa dimanipulasi atau dimanfaatkan, tapi tidak bisa dilawan. Artinya ahli PWK tidak bisa gagah-gagahan merencana pembangunan permukiman di padang pasir tandus, di lokasi terisolasi tanpa SDA ataupun nilai lokasi.
Ketiga, kalau PWK disebut engineering bisa saja. Karena sebagian besar yang sekolah PWK memang bercita-cita jadi Insinyur. Tetapi sayang, urusan pembangunan kota, apalagi wilayah adalah masalah public. Engineer bisa merancang model pakai computer aided design (CAD), berbagai perangkat simulasi. Tetapi pembangunan permukiman adalah keputusan public (eksekutif, legislative, masyarakat, dan … suka/tidak ……dunia usaha).
Keempat, mungkin seperti kata Thomas Alva Edison, “1-5% ide, 95-99% kerja keras”. Rencana yang dibuat ahli PWK, atau karya “engineering” itu artinya baru 1-5% dari upaya, sementara itu masih diperlukan upaya memenangkan “public policy” (persetujuan eksekutif, legislative, masyarakat,LSM, lembaga sektoral, musrenbangda, prov, nas, setahun, dua tahun, tiga tahun …). Disinilah bagi sarjana PWK bisa memilih, mau jadi “engineer murni” (mungkin 80% teknik, 20% public policy), atau jadi ahli perencana “ruang public” (20% teknik, 80% public policy). (NB: Kalau mau jadi konsultan juga perlu mengenali kebutuhan dan tendensi klien nya, ke “teknik” atau ke “policy” (planning, programming, budgeting, management pelayanan).
Kelima, implikasi dari adanya dua sisi “teknik” dan “public policy” di atas tentu akan menyangkut siapa aktornya. Pada saat ini yang membangun kota, newtowns, realestat, kawasan industry, pariwisata, ya swasta. Sementara kalangan Pemerintah, makin mengarah kepada fungsi regulator, pengaturan, pembinaan, pengawasan (Arah pembangunan + Turbinwas). Jadi kalau hobi “teknik” akan lebih terbuka peluangnya kalau kerja di developer. Biar Bos yang membebaskan tanah, perencana tinggal menggambar dengan CAD-nya. Namun kalau suka “policy” akan lebih banyak keasyikannya di pemerintahan, atau LSM advokasi. Ini tentu over-simplified ya, tapi kasarnya begitu.
Keenam, kalau logika diterima, diikuti, mungkin kesedihan dan apatisme Perencana bisa sedikit berkurang. Masalahnya selama ini, memperlakukan wilayah yang penduduknya aneka rupa (pengusaha, karyawan, suku terpinggirkan, kelompok radikal, PKL, dst) sebagai “kertas kosong”, ya repot. Lalu semua lembaga pemerintah yang lain, pelaku ekonomi, kompetisi anggaran, menjadi “kambing hitam” kekecewaan. Kalau mindset nya sejak awal melihat Perencanaan sebagai pergulatan “public policy” mungkin beda. Sehingga dari awal sudah siap mental bahwa Rencana yang disusunnya pasti ada yang setuju ada yang tidak, ada yang setuju globalnya, tapi eksekusinya tidak, mengeluarkan anggaran tidak, dst. Dan, tentu melengkapi diri dengan “alat tempur” (ilmu lobby, nego, persuasi, sampai provokasi, bicara di kantor atau bicara di lapangan, ….. otak oke, otot boleh… he he he.., dst), bagaimana memenangkan proses jaring aspirasi, musrenbang, legislasi, sampai ke orang-orang yang menyusun “draft peraturan/perundangan”, dan pemegang otoritas anggaran. Setidaknya tahu lah cara memetakan dan mempengaruhi stakeholders. Dan kalau kalah, biasa, bangkit lagi, namanya juga perjuangan. Cuma mungkin syaratnya harus jelas, apa manfaatnya bagi setiap kelompok stakeholders.
Ketujuh, kembali ke profesi. Untuk yang baru memulai karier, memilih sisi engineering dari PWK sesuai cita-cita tentu bagus sekali. Tapi cari tempat kerja yang betul-betul menerapkan desain, seperti developer yang sekarang banyak membangun. Tapi, sisi ilmu PWK yang lain, mungkin yang lebih luas adalah yang terkait “urban/regional development policy” dan “development management”. Ini area profesi PWK yang ternyata sangat luas, dan para senior Planner leading (beberapa eselon-1) disana. Sisi ini menawarkan pekerjaan perencanaan, proses regulasi, programmining, budgeting. Mencakup sector pembangunan yang luas, seperti perencanaan pengembangan perumahan, prasarana kota, wilayah aliran sungai, transportasi, lingkungan hidup, pariwisata, pembangunan perdesaan, komunitas, kelautan, dst.
Kedelapan, pilihan di atas juga berlaku bagi yang mau melanjutkan sudi, ke master atau doktoral degree. Mau pilih yang bersifat "spatial engineering/design" murni atau yang cenderung ke "public policy". Dan ada pilihan tengah barangkali adalah sekolah "business administration", mengingat saat ini kian banyak proyek pembangunan perkotaan dan infrastructure yang melibatkan aktor pemerintah dan swasta. Pengembangan wilayah kota dan prasarana nya dengan model pendanaan public-private partnership. [Risfan Munir]

No comments:

Post a Comment