Pengembangan wilayah dan kota dengan pengembangan ekonomi lokal sulit dipisahkan, demikian kesimpulan posting sebelumnya. Selanjutnya tentang wisatawan dari Malaysia. Saya tambahkan mereka juga ke Bukit tinggi, Maninjau dan sekitar, juga Medan, Brastagi, Toba dan sekitar. Saya tanya ke manajer beberapa hotel di Bandung kunjungan mereka significant, dari length of stay dan spending nya. Selain FO, oleh-oleh Amanda brownies, Kartika Sari, juga Spa dan sejenis.
Seorang Prof ahli pariwisata pada Seminar Pariwisata di ITB cerita kalau dia periodik ke paguyuban Angklung Mang Ujo dan sejenis. Mereka belajar bagaimana mengembangkan angklung itu menjadi atraksi wisata, melestarikan dan meluaskannya. Ini tentu tantangan bagi kita.(note: S2 Pariwisata ITB juga punya nama lho, termasuk dari kalangan NHI yang ada dari dulu. Kalau ttg Tourism Planning mereka rely on ITB).
Perencanaan wilayah dan kota. Bicara supply-chain, masih ingat waktu pasar Tanah Abang terbakar, ada bom di Kuta Bali, yang teriak juga para pedagang dan pengrajin dari Jatim, Jateng, Jabar, Sumbar, Sulsel dll. Karena Bali (Kuta, Sukawati), Tanah Abang, Mangga Dua, Beringharjo dan sejenis di beberapa kota besar, sudah jadi outlet bagi produk kerajinan, pakaian dll, dari pusat-pusat kerajinan dan UMKM di berbagai provinsi di Indonesia. Supply-chain yang terbentuk luas, antar provinsi.
Kedua, mengenai Ubud- Bali, juga Jepara yang sudah punya nama besar, brand nya kuat kata orang marketing, soalnya adalah bagaimana membinanya menjadi cluster yang kuat -berdaya-saing, berkeadilan dan berkelanjutan.
Apakah mereka sekedar bergerombol memanfaatkan brand lokasi, atau sudahkah mereka saling bermitra, input/output relation untuk mengembangkan pasar, desain, pengadaan raw materials, termasuk mengelola lingkungan, ruang, utilitas dan prasarananya. Ini juga menjadi tantangan ke depan.
Concern perencanaan wilayah dan kota memunculkan pertanyaan bagaimana posisi cluster (ekonomi lokal) dalam ekonomi wilayah? Cluster ini bisa dianggap sel, namun di banyak daerah sudah menjadi core (jantung) ekonomi wilayah. Dalam hal ini mungkin kita juga harus meninjau ulang pandangan kita tentang core yang selama ini diartikan semata sebagai besarnya kota .
Terkait perencanaan wilayah dan kota. Kalau kita baca Porter s Competitive Advantage (of the Nation , yang dibahas kan clusters daripada kota sebagai pusat unggulan daerah atau negara.
Concern perencanaan wilayah dan kota, dalam sustainability of cluster seperti Jepara, Pandeisikek, Tasikmalaya, Ubud, dst, sudah melintas zaman dengan strategi alamiah dan daya saing dan daya adaptasinya. Bahkan dengan era pemerintahan silih berganti Belanda, Jepang, era enam presiden RI mereka tetap exist.
Dalam perencanaan wilayah dan kota praktis ini, menganalisisnya jangan rumit-rumit. Ini zaman absurd, end of history , orang mewaspadai perilaku kapitalistik, lha ternyata "pusat kapital-nya kok justru di negara penganut politik komunis". Bingung toh! Jangan-jangan kategori yang dibuat ilmuwan selama ini tidak valid lagi. ... We are in journey to the Great Unknown ...... Bagaimana kalau kita nongkrong saja di lapangan, amati, ikuti apa yang riel terjadi kayak Geertz yang nongkrong di Pare, mungkin sambil makan pecel n tahu Kediri dan macho ngisap kretek GG merah).
Sambil kita amati proses yang terjadi, amati mana yang jalan/tidak. Apa key success factors-nya? Unsur, komponen, actors/stakeholders, pola kemitraan, proses, events (siklus periodic, promo) nya yang menentukan? Bisakah direplikasi, apa syaratnya? Demikianlah ada hubungan natural saling mengisi antara perencanaan wilayah dan kota dengan kegiatan pengembangan ekonomi lokal, khususnya dalam pengembangan kawasan pariwisata dan industi kreatif. [Risfan Munir]
LOGFRAME: PEMBANGUNAN JALAN REGIONAL
4 years ago
No comments:
Post a Comment